Menuju Persatuan Santri yang Ketiga ('Revolusi' Putih 8)
Oleh: Nasihin Masha.
Kolom Resonansi.
Republika Online | Friday, 06 January 2017 | 06:00 WIB
Santri tak mampu bersatu. Ditakdirkan untuk bercerai-berai dan menjadi
buih peradaban. Karena itu, walau santri merupakan mayoritas di
Indonesia, tak pernah menjadi kepala dan selalu puas menjadi 'ekor
macan'. Bahkan untuk bersikap pun tak. Namun tunggu dulu!
Pada
1937, umat Islam mendirikan wadah bersama Majelis Islam A'la Indonesia
(MIAI). Organisasi ini semacam konfederasi 13 ormas Islam. Pucuk
pimpinan utamanya dari NU, Muhammadiyah, dan Syarikat Islam.
Pada
1943 Jepang membubarkan MIAI dan menggantinya dengan Majelis Syuro
Muslimin Indonesia (Masyumi) - oleh Yusril Ihza Mahendra nama Masyumi
ini dinilai lebih akrab di telinga orang Jepang, seperti Mayumi nama
orang.
Namun, menjelang pemilu 1955, Masyumi pecah. NU mendirikan
partai sendiri, demikian pula Syarikat Islam dan Perti. Lain-lainnya
tetap bergabung dalam Masyumi. Walau sudah terpecah, pemilih santri
tetap terkonsolidasi dengan baik dan hanya terbagi ke Masyumi dan NU.
Pada
masa kini, semua itu seolah menjadi masa lalu. Semenjak Orde Baru,
persatuan Islam seolah menjadi kemustahilan. Sehingga hampir-hampir tak
ada mimpi lagi menyatukan umat. Di masa reformasi, tak ada partai santri
yang menjadi partai papan atas.
Semuanya masuk di papan tengah.
Namun, tiba-tiba, hasil Pemilihan Presiden 2014 mulai menyadarkan
sebagian pihak. Inilah untuk kali pertama pemilih santri relatif
terkonsolidasi ke dalam satu pilihan, mungkin sekitar 80 hingga 90
persen.
Mereka umumnya memilih pasangan Prabowo-Hatta. Sedangkan
sebagian lagi, pemilih santri memilih Jokowi-Kalla. Inilah kali pertama
sejak Orde Baru pemilih santri relatif terkonsolidasi. Namun, kenyataan
ini masih dianggap kebetulan.
Apalagi, yang menyatukan adalah
Prabowo, bukan figur santri. Keluarganya pun lebih banyak non-Muslim,
ini karena ibunya non-Muslim. Bahkan pada masa kampanye sering
dibandingkan Jokowi yang dinilai lebih Islami.
Hal itu
dipertontonkan dengan baik: Jokowi menjadi imam shalat, umrah menjelang
hari pencoblosan. Bahkan ada yang bilang bila perlu adu membaca Alquran
antara Jokowi dan Prabowo. Sang pengusul yakin Jokowi yang menang.
Persatuan
santri kembali terjadi. Kali ini dipicu kontroversi al-Maidah ayat 51
yang disampaikan Ahok. Kali ini yang menyatukan tokoh-tokoh yang
tergabung di GNPF MUI. Aksi 411 dan 212 menjadi saksi sejarah bersatunya
santri.
Beragam latar belakang keagamaan, dari garis keras
hingga dan tentu saja yang terbanyk adaalah orang-orang berpandangan
keagamaan moderat tumplak di depan Istana dan Monas.
Mereka
adalah orang-orang tua hingga generasi muda, dari laki-laki maupun
ibu-ibu, dari rakyat jelata hingga kelas menengah. Semuanya mengambil
sikap yang sama: Aksi Bela Islam. Inilah persatuan yang kedua. Namun,
terus ada penyangkalan.
Sikap akar rumput ini coba dinegasikan
dengan dibenturkan realitas di elitenya. Ya, penggerak aksi bukanlah
dari ormas-ormas arus utama. Elite ormas arus utama menjadi gagap. Sudah
menjadi tabiat kaum di zona nyaman selalu lambat merespons kenyataan di
akar rumput.
Terlalu banyak pertimbangan, kepentingan, dan
terlalu besar gerbong yang harus dibawa. Bahkan ekstremnya, sudah
terlalu sering menjadi bagian kemapanan, walaupun menjadi buntut macan
belaka.
Karena itu, respons terhadap tuntutan perubahan akan
mudah ditangkap oleh orang-orang yang berada di luar zona nyaman. Hanya
saja, Rizieq Syihab menghadapi kendala tak enteng.
Rekam jejaknya
sebagai pimpinan tertinggi FPI sebagai organisasi nahi munkar dengan
cara keras -bukan hanya kata-kata tapi juga fisik- membuat langkah ke
depannya tak mudah.
Karena dia yang berada di pucuk tertinggi
maka Bachtiar Nasir dan M Zaitun Rasmin berada dalam lingkup aura
tersebut. Titik lemah ini yang terus dieksploitasi pemerintah dan
orang-orang yang tak menyukainya. Bukan hanya diterjang melalui opini
tapi juga melalui upaya hukum.
Selain itu, mereka juga dihadapkan
pada tantangan lain. Mereka harus mampu merumuskan isu lebih luas,
lebih inklusif, dan lebih konkret tentang problem kebangsaan, ekonomi,
dan problem sosial.
Jika mereka gagal lolos dari sergapan opini
dan hukum serta dari visi yang lebih luas, maka gerakan mereka hanya
berhasil pada isu Ahok semata.
Padahal tuntutan publik adalah
tentang masa depan Indonesia dalam hal pemerataan ekonomi, perbaikan
kehidupan politik, dan pergaulan sosial yang lebih bermartabat. Dalam
situasi yang demikian maka akan lahir persatuan yang ketiga.
Seperti
yang sudah saya jelaskan dalam resonansi sebelumnya, bahwa lahirnya
gerakan ini merupakan suatu keharusan sejarah karena lahirnya generasi
baru. Generasi santri yang telah sekolah di masa Orde Baru dan berhasil
mencapai mobilitas sosial yang lebih baik.
Mereka menuntut peran
yang lebih luas. Generasi ini berbeda dengan generasi santri yang
bersekolah setelah kemerdekaan. Generasi santri pertama ini berasal dari
kelas menengah, sedangkan generasi santri kedua ini berlatar belakang
yang lebih beragam, terutama dari kelas bawah yang kini telah mengalami
perbaikan sosial ekonomi.
Generasi pertama inilah yang kemudian
melahirkan ICMI, sehingga wajar jika organisasi kaum cendekiawan ini
bersifat elitis. Selain sumber dayanya masih terbatas, juga karena
mereka memang berlatar belakang kaum elite santri.
Sedangkan
generasi santri kedua ini benar-benar berasal dari akar rumput, sehingga
bersifat masif. Persatuan santri kali ini merupakan kehendak akar
rumput, bukan kehendak elite seperti masa MIAI. Karena itu, elite santri
sangat gagap dalam menghadapi 411 dan 212.
Perlu dicatat,
kelahiran ICMI adalah enam tahun setelah Tragedi Priok (1984). Tuntutan
perubahan itu ditangkap pertama kali oleh orang-orang dari garis keras
juga. Tragedi itu menyadarkan kaum moderat, mereka tak boleh diam dan
harus mengambil alih prakarsa perubahan.
Apakah kaum moderat
kembali akan mengambil alih prakarsa perubahan dan berhenti menjadi
buntut macan? Apakah prakarsa itu akan mencuat setelah ada tragedi
terlebih dahulu? Tentu masih banyak pertanyaan lain yang bisa kita
ajukan.
KH Ahmad Dahlan serta duet KH Hasyim Asy'ari dan KH Wahab
Chasbullah adalah figur-figur visioner. Mereka bisa mengambil prakarsa
atas dasar keyakinan dan panggilan jiwa. Dari situlah lahir Muhammadiyah
dan Nahdlatul Ulama.
Dua ormas inilah yang kini menjadi perahu
besar para santri. Apakah generasi baru Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama
mampu menangkap denyut tuntutan perubahan akar rumputnya tentang
perluasan peran di bidang sosial dan ekonomi? Atau?
Seorang
sejarawan terkemuka menulis, pada masa lalu, rakyat Jawa bisa menjadi
warga kerajaan lain jika rajanya lalim. Kekuasaan kerajaan-kerajaan di
Jawa masa lalu bukan hanya terletak pada penguasaan teritori, tapi juga
pada kepatuhan manusianya.
Jika rajanya lalim, mereka bisa
bermigrasi ke kerajaan lain. Konversi masif manusia Jawa menjadi Muslim
adalah karena orang-orang Islam yang memimpin pemberontakan terhadap
penjajahan Barat.
Mereka menderita akibat penjajahan. Begitu juga
konversi masif manusia Jawa ke dalam Kristen adalah setelah tragedi
G30S/PKI, terutama di Jawa Tengah. Aksi balas dendam terhadap PKI oleh
sebagian kalangan Islam membuat para pengikut PKI menjadi Kristen.
Kini,
gejala serupa mulai bermunculan. Problem sosial ekonomi yang
menimbulkan friksi politik membutuhkan respons baru dari generasi santri
masa kini. Manusia Indonesia memiliki independensinya tersendiri dalam
menghadapi tantangan zaman.
Mereka bisa dengan mudah menanggalkan
baju lamanya begitu saja jika dianggap tak cocok lagi. Mampukah
pemimpin Islam moderat memandu desakan perubahan ini dan berhenti
menjadi 'buntut macan'? Bukankah sungguh tak nyaman menjadi pemadam
kebakaran?
Selasa, 26 September 2017
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Berkahe Mayoritas
Saya hanya ingin mengatakan bahwa, Salah satu berkahnya Islam menjadi Mayoritas di Indonesia adalah: separah apa pun pemerintahnya, tidak ak...
-
Telah Lahir Generasi Baru ('Revolusi' Putih- 2) Oleh: Nasihin Masha Kolom Resonansi. Republika Online | Jumat, 25 Novem...
-
D i antara bangsa-bangsa besar (kuat) yang menerima hidayah Islam, tinggal bangsa kita, bangsa Melayu, atau disebut juga bangsa Jawa atau Ja...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar