Aksi 212 dan Reaktualisasi Nasionalisme ('Revolusi' Putih 4).
Oleh: Nasihin Masha
Kolom Resonansi.
Republika Online | Friday, 09 December 2016 | 06:00 WIB
Laju sejarah selalu tak bisa dibendung. Karena sejarah memiliki nyawa,
memiliki daya hidup. Seperti arus laut yang mengikuti suhu air, seperti
angin yang mengikuti kerapatan udara dan seperti air yang mengikuti
kemiringan tanah. Aksi 212 tak tertahankan.
Upaya membendung dan
membelokkan arus sejarah bukan tidak dilakukan, bahkan bertubi-tubi.
Para pimpinan ormas dan pimpinan partai didatangi dan dipanggil. Fatwa
bid'ah shalat di jalan dikeluarkan.
Degradasi narasi aksi 212
disebar lewat media konvensional maupun media sosial. Intimidasi
dilakukan dengan diksi makar, dibayar, dan ditunggangi aktor politik.
Perusahaan bus dilarang mengangkut rombongan yang hendak ke Jakarta.
Jalan-jalan
dijaga banyak aparat. Kendaraan yang melaju dihentikan untuk didata.
Jembatan tiba-tiba ditutup. Jalan tol tiba-tiba diaspal. Polisi akan
membubarkan secara paksa jika tetap shalat di Jalan Thamrin dan Jalan
Sudirman sehingga aksi 212 harus pindah ke Monas.
Aksi tandingan
dilakukan berkali-kali. Konsolidasi ke alat-alat negara digeber. Secara
atraktif polisi juga menyebar selebaran dari helikopter di langit
Jakarta. Seolah akan ada perang. Namun, inilah puncak pembalikannya:
santri Ciamis memilih berjalan kaki menuju Jakarta.
Suara dari
Ciamis ini justru merupakan tindakan efektif yang menggetarkan dan
menggentarkan. Mereka mengenakan caping merah-putih. Di ruas-ruas jalan
yang dilalui, masyarakat menggelar makanan dan penyambutan luar biasa.
Pelajar
berjajar di pinggir jalan mengenakan kacu merah-putih. Di panggung
utama di Monas pun tergelar backdrop besar: Persatuan dan Doa untuk NKRI
Tercinta. Pin merah-putih menghiasi kopiah panitia.
Dengan
segala pembendungan itu, aksi 212 justru jauh lebih besar daripada aksi
411. Aksi 212 benar-benar superdamai. Aksi 212 lebih disiplin, lebih
rapi, dan lebih berjiwa daripada aksi 411. Presiden Jokowi akhirnya ikut
shalat Jumat di Monas.
Peserta aksi 212 jauh di atas perkiraan
aparat keamanan yang menaksir cuma akan diikuti 200 ribu orang. Karena
itu, Jl Thamrin tetap digunakan untuk area shalat Jumat. Peserta aksi
juga memadati hingga ke Tugu Tani, kawasan Kwitang, kawasan Senen,
maupun Lapangan Banteng.
Upaya pengerdilan tak berhenti. Narasi
menuntut keadilan dituduh sebagai anti-Indonesia. Mereka menyerbu lewat
media konvensional dan media sosial. Mereka juga membuat aksi-aksi
tandingan. Ada Parade Bhinneka Tunggal Ika, ada Kita Indonesia.
Benar-benar
dihadap-hadapkan. Bahkan yang terakhir lengkap dengan beredarnya
surat-surat dari kementerian, sebagian partai pendukung, dan
perusahaan-perusahaan konglomerat. Aksi tandingan ini benar-benar bukti
ketidakmatangan bernegara.
Suka atau tidak suka, diakui atau
tidak diakui, semua aksi tandingan itu butuh restu orang-orang berkuasa.
Padahal tugas negara adalah menyerap aspirasi. Tugas negara adalah
membuat kebijakan.
Tugas negara bukan menandingi aspirasi
warganya yang menuntut keadilan-sahabat saya mempunyai istilah yang
tepat untuk aksi tandingan ini: demo pelat merah. Tugas penguasa adalah
mengekstrak detak rakyatnya, bukan membuat aksi pelat merah. Bukan
membuat “kita” dan “kalian”.
Masuklah pada kedalaman yang
bersemayam di hati rakyat. Apa yang terjadi saat ini bukan sekadar
al-Maidah: 51. Namun, ada masalah sosial-ekonomi yang diam-diam menjadi
jurang yang dalam dan menuju tanpa dasar.
Pilkada adalah
pemantik. Namun, yang dilakukan penguasa adalah membangun dikotomi
penguasa melawan rakyat, si miskin melawan si kaya, jelata melawan
elite. Sikap defensif orang-orang berkuasa justru makin menyadarkan
bahwa ini bukan soal Ahok semata.
Ada kekuatan yang sangat besar
yang membuat mereka mati-matian membendung arus sejarah ini. Ada
kesadaran bahwa kekuatan perubahan ini bisa mengubah tatanan yang sudah
mulai lapuk ini.
Kaum oligarkis dan plutokratis melihat titik
cahaya yang mengancam eksistensi mereka. Negeri ini tak kunjung maju
karena hanya mengabdi kepentingan segelintir elite dan segelintir
pengusaha. Jumlah mereka tak lebih dari 200 orang.
Sudah saatnya negeri ini mengabdi untuk seluruh anak bangsa, seperti digagas para pendiri negeri ini.
Sukarno
adalah murid HOS Tjokroaminoto. Sebagaimana gurunya, Sukarno
menerjemahkan dirinya sebagai kekuatan kelas menengah yang menyatukan
dirinya dengan jiwa masyarakatnya. Hal ini berbeda dengan kebanyakan
pemimpin kebangsaan saat itu yang elitis.
Dua Bapak Bangsa itu
tampil dengan bahasa awam dan menyatu dengan denyut nadi rakyat. Mereka
mengekstrak aspirasi yang bersemayam di dada rakyatnya. Sukarno
memperbaiki kekuatan gurunya-dalam hal orasi maupun ideologi.
Dengan
bersatunya pemimpin dengan rakyatnya maka gerakan kebangsaan memiliki
nyawa raksasa yang meruntuhkan kolonialisme. Namun, kemerdekaan belum
berhasil menjebol elitisme kekuasaan.
Kemerdekaan hanya berhasil
melakukan revolusi politik tetapi gagal dalam revolusi sosial dan
revolusi ekonomi. Hal ini berlanjut pada lanskap seusai gerakan 1966
maupun gerakan 1998. Kaum elite-oligarkis maupun plutokratis-selalu
pandai memanipulasi narasi.
Contoh paling mudah bisa dilihat pada
perang narasi saat ini. Mari kita lihat kontradiksinya. Mulut bicara
NKRI harga mati tetapi duit disimpan di luar negeri.
Teriak
lantang tentang Merah Putih tapi tak ikut tax amnesty-atau hanya
sebagian harta saja yang diikutkan dalam tax amnesty. Bhinneka Tunggal
Ika digelorakan tetapi sudah ngacir ke negeri tetangga ketika ada suara
berbeda.
Pancasila didengungkan tetapi penyelundupan, transfer
pricing, penyuapan, dan korupsi jalan terus. Semua berselimut dusta yang
disangga harta dan kuasa.
Sedangkan, orang-orang yang dituduh
anti-Indonesia itu justru di posisi sebaliknya: hidup dan matinya tidak
akan ke mana-mana. NKRI benar-benar harus dijaga karena itu kekayaan
satu-satunya.
NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, Merah Putih, Garuda,
dan Pancasila bukan slogan kosong yang hanya indah di pidato dan
spanduk. Semuanya harus nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Orang-orang
yang ikut aksi 411 atau 212 itu nyaris semuanya jauh dari urusan tax
amnesty atau menyimpan duit di luar negeri. Apalagi melakukan
penyelundupan, transfer pricing, dan penyuapan.
Jadi, siapa
sesungguhnya yang anti-Indonesia? Umat Islam tak henti dituduh
anti-Indonesia. Karena cuma itu satu-satunya senjata. Trauma
kolonialisme-santri adalah salah satu yang paling menderita sehingga
tertinggal secara ekonomi dan pendidikan-bukanlah sesuatu yang mudah
dihapuskan.
Kini, sudah saatnya bergerak dalam barisan yang rapi
dan terkonsolidasi, dalam bahasa yang universal, dan membesarkan kuda
sendiri. Aksi 212 telah memberi pesan kepada dunia bahwa Islam itu damai
dan indah.
Namun, kedamaian dan keindahan itu menjadi bermakna
manakala bisa membawa Indonesia maju dan sejahtera. Dan itu tidak bisa
dilakukan dari pinggiran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar