Menaruh Sedotan di Gelas ('Revolusi' Putih -- 3)
oleh: Nasihin Masha
Republika Online | Friday, 02 December 2016 | 13:40 WIB
Di
manakah letak pusat-pusat kemiskinan di masa kolonial? Kita bisa
menjawab dengan cepat: di sekitar perkebunan-perkebunan Belanda.
Penjajahan Belanda terus merangsek. Mulai dengan berdagang di pesisir,
membuat benteng, bertransaksi melalui penguasa lokal, hingga akhirnya
masuk ke desa-desa secara langsung.
Persekutuan dagang Hindia
Timur (VOC) bubar pada 1798 akibat korupsi dan perang dengan Sultan
Hasanudin, Sulawesi. Penjajahan diambil alih dari organisasi persekutuan
dagang ke Pemerintah Belanda. Perang Diponegoro (Perang Jawa) pada
1825-1830 membuat pemerintah kolonial hampir bangkrut.
Untuk
menebusnya, Belanda memberlakukan sistem tanam paksa (cultuurstelsel)
sejak 1830. Masyarakat wajib menyerahkan 20 persen tanahnya, yang tidak
punya tanah wajib ikut kerja paksa 66 hari dalam satu tahun.
Komoditas
tanamnya adalah kopi, tebu, dan nila, kemudian berkembang ke tembakau,
teh, dan sebagainya. Maka hadirlah perkebunan-perkebunan. Pemerintah
Belanda untung besar. Namun, warga sekitar perkebunan menjadi warga
paling miskin, bahkan jejaknya masih terlihat hingga kini-terutama di
Jawa.
Sukses itu menuntut jaringan infrastruktur yang lebih baik.
Jalan raya, termasuk jalan Daendels yang dibangun 1808 dari Anyer
(Banten) ke Panarukan (Situbondo) sepanjang sekitar 1.000 km, tak lagi
memadai. Pada 1840 muncul proposal pembangunan jaringan kereta api.
Namun,
pembangunan baru bisa dilakukan pada 1864 dan selesai 1867. Ruas
Semarang-Tanggung sepanjang 26 km adalah jaringan kereta api pertama.
Pada 1900 sudah terbangun rel kereta api sepanjang 3.338 km.
Ujungnya
adalah pelabuhan, yaitu Tanjung Priok (Jakarta) dan Tanjung Perak
(Surabaya). Jika jalan Daendels untuk basis pertahanan pantura Jawa maka
jaringan kereta adalah untuk transportasi komoditas perkebunan.
Rel
kereta api yang dibangun Belanda itu tak semua masih difungsikan,
termasuk jalur Cirebon-Bandung, Lebak-Labuan, dan sebagainya. Sistem
tanam paksa yang eksploitatif ini menimbulkan penderitaan yang hebat
pada masyarakat.
Pada 1860 terbit novel Max Havelaar. Novel ini
ditulis Eduard Douwes Dekker dengan nama samaran Multatuli. Ia
menggambarkan kejamnya sistem tanam paksa. Kritik-kritik serupa juga
muncul dari wartawan dan politisi. Sepuluh tahun kemudian, 1870, sistem
tanam paksa dihentikan.
Namun, perkebunan tetap berjalan dan
proses itu diambil alih oleh swasta. Walau terjadi liberalisasi,
penderitaan rakyat yang kehilangan tanah dan dampak 40 tahun tanam paksa
tetap lestari. Namun, kita tak pernah belajar dari sejarah. Kini kita
sedang mengulanginya lagi.
Jika pada masa SBY kita
mengeksploitasi sumber daya alam besar-besaran-perizinan pertambangan
mineral dan pembukaan lahan perkebunan sawit-kini kita sedang
besar-besaran membangun jaringan infrastruktur jalan, kereta, laut, dan
udara.
Lini masanya sama: mulai dengan membuka lahan lalu diikuti
pembangunan infrastruktur. Suatu kali Sukarno menyatakan, lebih baik
kekayaan alam Indonesia tetap terpendam di dalam tanah hingga anak-anak
Indonesia sanggup mengelolanya sendiri.
Kisah sukses
bangsa-bangsa lain selalu menyebutkan, jalan kemajuan itu diraih melalui
pengembangan sumber daya manusia (pendidikan) dan penguatan
kelembagaan. Hal itu bisa dibaca pada buku Acemoglu dan Robinson, juga
buku Fukuyama.
Tulisan ekonom M Chatib Basri di sebuah media juga
menekankan hal itu. Bahkan, ia menyebutkan, hanya Australia dan Cile
yang sukses beranjak menjadi negara maju melalui sumber daya alam.
Sedangkan, negara-negara Asia beranjak maju melalui jalan
industrialisasi.
Program pembangunan technopark di semua kota
yang dijanjikan di masa kampanye tak pernah terdengar lagi. Model
technopark ini sukses di Taiwan yang kemudian ditiru Cina.
Investasi
pendidikan yang dilakukan Indonesia tak segencar seperti yang dilakukan
Cina atau Malaysia di masa Mahathir Mohamad. Mengapa kita tak melakukan
seperti yang dilakukan Cina, Malaysia, Taiwan, dan Korea Selatan?
Tentu
akan banyak jawaban. Yang pasti, anggaran dan legislasi diperebutkan
oleh banyak kepentingan-seperti kata Acemoglu dan Robinson,
pertarungannya memang di undang-undang. Khusus di era reformasi ini,
penguasanya cuma dua: partai dan pengusaha.
Partai hanya dikuasai
segelintir orang. Partai besar cuma empat: PDIP, Golkar, Demokrat, dan
Gerindra. Mereka sangat pragmatis, tak ada yang ideologis. Kendati PDIP
merupakan partai ideologis, dalam hal ekonomi juga sama saja.
Sedangkan,
kaum pengusahanya umumnya adalah pedagang. Pedagang komoditas ataupun
importir barang industri dan komoditas pangan. Impornya pun banyak yang
selundupan, bahkan untuk barang elektronika bisa lebih dari 80 persen
selundupan.
Walau kita eksportir komoditas, bursa komoditas
justru ada di Singapura. Jangan dikira kita berdaulat dalam perdagangan
kakao, kopi, teh, nikel, batu bara, bahkan hingga gambir yang cuma ada
di Sumatra Barat itu.
Karena itu, pembangunan infrastruktur tanpa
penguatan sumber daya manusia dan kelembagaan ibarat kita menyediakan
sedotan di gelas kita. Jika pada masa Orde Baru sedotan itu hanya sampai
sepertiga gelas, maka setelah pembangunan infrastruktur besar-besaran
selesai sedotan itu sudah menyentuh ke dasar gelas.
Jadi,
Indonesia akan disedot hingga tandas. Pada masa kolonial kita sudah
diperlihatkan eksploitasi sumber daya alam menghasilkan kemiskinan
bergenerasi di sekitarnya. Sawahlunto di Sumatra Barat adalah contohnya.
Setelah
batu bara habis, maka daerah itu kembali sepi dan miskin. Beruntung,
pada era reformasi wilayah itu memiliki kepala daerah yang membangun
sumber daya manusia sehingga bisa bangkit dan ramai kembali.
Fukuyama
mengingatkan, "Setiap umat manusia berusaha untuk memiliki pengakuan
atas martabatnya [...]. Di masa modern, perjuangan untuk memperoleh
pengakuan ini telah beringsut dari wilayah militer ke wilayah ekonomi."
Seolah
bersahutan, Acemoglu dan Robinson mengatakan, "Konflik perebutan sumber
daya, pendapatan, dan kekuasaan yang langka akan menjelma menjadi
konflik dalam penetapan undang-undang serta pembentukan institusi
ekonomi yang sangat menentukan aktivitas perekonomian, berikut pihak
mana saja yang akan diuntungkan."
Pembangunan infrastruktur dan
pembukaan lahan tak menjamin tercapainya kesejahteraan bersama dan
keadilan untuk semua jika tak menyiapkan kualitas manusia dan
kelembagaan yang inklusif, terutama di sektor ekonomi.
Kita nanti
akan menjadi kuli, gelandangan, dan konsumen di negerinya sendiri.
Kenyataan ini bukan hanya nyata, tetapi mulai gigantik.
Selasa, 26 September 2017
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Berkahe Mayoritas
Saya hanya ingin mengatakan bahwa, Salah satu berkahnya Islam menjadi Mayoritas di Indonesia adalah: separah apa pun pemerintahnya, tidak ak...
-
Telah Lahir Generasi Baru ('Revolusi' Putih- 2) Oleh: Nasihin Masha Kolom Resonansi. Republika Online | Jumat, 25 Novem...
-
D i antara bangsa-bangsa besar (kuat) yang menerima hidayah Islam, tinggal bangsa kita, bangsa Melayu, atau disebut juga bangsa Jawa atau Ja...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar