'Revolusi' Putih
Oleh: Nasihin Masha.
Kolom Resonansi.
Republika Online | Jumat, 11 November 2016 | 06:00 WIB
Ini adalah aksi unjuk rasa terbesar dalam sejarah Republik Indonesia.
Ada yang mengklaim aksi ini diikuti lebih dari satu juta orang, ada yang
menyebutkan sekitar 700 ribu orang. Namun sejumlah media ada yang
menyebutkan cuma puluhan ribu atau ribuan orang saja.
Ada pula
yang menyebutkan sekitar 150 ribu orang. Kepala Polri sendiri awalnya
memprediksi akan diikuti lebih dari 50 ribu orang. Namun ternyata
peserta unjuk rasa membeludak. Angka yang moderat adalah sekitar 500
ribu orang.
Tapi ini tetap yang terbesar dalam sejarah, jauh
melampaui aksi 1998 yang menurunkan Soeharto. Angka itu makin besar lagi
jika ditambah unjuk rasa yang terjadi di berbagai daerah pada hari yang
sama.
Warna putih menjadi lanskap aksi yang mereka sebut sebagai Aksi Damai 4 November.
Warna
putih mengular dari depan Istana hingga ke Bundaran HI. Warna putih
juga mengitari sekeliling Istana, di Jl Veteran, kawasan Monas, Lapangan
Banteng bahkan hingga ke Patung Tani. Aksi ini berlangsung tertib.
Mereka saling mengingatkan untuk tak menginjak taman.
Ada yang
khusus bertugas memunguti sampah, ada yang membagikan makanan dan
minuman, relawan kesehatan, dan seterusnya. Saking damainya, para
pedagang kaki lima bisa tenang berjualan. Spontanitas warga juga tampak
dari dukungan pegawai-pegawai kantor di sekitar kawasan itu yang ikut
menyuplai minuman dan makanan.
Peserta aksi demikian plural. Ada
yang berasal dari kelompok-kelompok yang disebut garis keras, ada yang
dari pengikut ormas-ormas mainstream, dan lebih banyak lagi massa awam.
Hal itu terlihat ketika sore menjelang.
Begitu waktu Ashar tiba,
massa awam ini pulang. Jumlahnya mungkin bisa 80 hingga 90 persen.
Inilah yang oleh Aa Gym sebagai fenomena orang-orang yang tergerak
hatinya.
Mereka bak keluar dari lubang-lubang semut, terus
menyembul sejak pagi hingga usai bubaran Jumatan. Mereka berasal dari
mushala-mushala kecil di Jabodetabek, mereka berasal dari
majelis-majelis taklim di perumahan-perumahan dan
perkampungan-perkampungan, mereka adalah kaum profesional dan eksekutif
muda, mereka bahkan orang-orang tua yang lugu yang jika bertemu orang
berpakaian rapi akan membungkukkan badan.
Mereka juga anak-anak
muda dari perkampungan-perkampungan, mereka juga ibu-ibu muda sosialita
di lingkungannya masing-masing. Mereka datang naik KRL, bus kota,
angkot, Transjakarta, ojek, sepeda motor.
Jika kita mengikuti
status-status media sosial, kita juga akan menyaksikan, peserta aksi itu
juga datang dari luar kota. Ada yang datang naik bus carteran, ada yang
datang naik bus umum, naik kereta, bahkan kapal laut, dan pesawat
terbang.
Para anak muda dilepas dengan penuh haru oleh orang
tuanya, ada guru-guru yang dilepas murid dan orang tua muridnya dengan
doa bersama. Ada yang dilepas jamaah dan tetangganya. Inilah yang
disebut gerakan sosial. Ya, ini gerakan sosial.
Ini adalah
gerakan sosial pertama dalam sejarah Republik yang bersifat massif dan
berskala nasional. Kita tentu ingat gerakan massa 1966, 1974, 1977/1978,
dan terakhir 1998. Semua berintikan massa mahasiswa, karena itu disebut
sebagai gerakan mahasiswa.
Namun kali ini berisi beragam elemen masyarakat: mahasiswa, profesional dan eksekutif muda, orang-orang tua, remaja, ibu-ibu.
Aksi ini memiliki banyak dimensi dan bisa dianalisis dari berbagai macam segi.
Memang
pemantiknya adalah masalah agama. Namun sangat naif jika kita hanya
melihatnya dari sisi agama semata. Para cendekiawan kita yang hanya
rajin baca buku dan blusukan di media massa, maka mereka tak bisa
memotret realitas dengan benar.
Politisi dan aparat kita yang
hanya suka menyapa elite-elite belaka dan tak suka menyelam ke akar
rumput akan terkaget-kaget. Para pemimpin yang sudah merasa berkuasa
dengan mengendalikan alat-alat kekuasaan dan sumber-sumber uang akan
rabun terhadap denyut hati dan pergerakan sosial.
Para orang
bijak yang lebih suka bermain dengan kata-kata di puncak-puncak
gelombang akan kehilangan pijakan dan mudah oleng serta melapuk sebagai
demagog.
Para aktivis yang terbiasa berkegiatan dan bergerak
dengan membuat proposal tak mampu menghitung energi potensial air di
danau dan di gemericik mata air.
Padahal World Economic Forum
sudah menyimpulkan, masyarakat Indonesia termasuk orang-orang paling
dermawan di dunia. Bagi pegiat filantropi tahu benar tentang ini. Namun
aksi 411 membalikkan semua itu.
Orang-orang yang salah baca itu
memprediksi aksi itu hanya akan diikuti oleh puluhan ribu, aksi ini
distigma sebagai gerakan garis keras, aksi ini punya tujuan politik,
aksi ini dibiayai politisi, dan beragam tuduhan lain seperti
antipluralisme, merusak kebinekaan, merongrong NKRI, dan anti-Pancasila.
Mereka
tak bisa menangkap substansi, tak bisa menjangkau akar. Mereka bahkan
menjadi imperialis layaknya kolonialis memperlakukan pejuang
kemerdekaan. Mereka layaknya penguasa despot dan otoriter dalam melihat
aspirasi rakyat.
Dicarilah kambing hitam, dibuat politik belah
bambu, dan ujungnya politik pecah belah. Mesin-mesin kekuasaan dan
alat-alat propaganda itu pun bekerja untuk memaksakan kehendaknya.
HMI
adalah titik terempuk untuk menjadi target propaganda kacangan ini dan
menjadi kapsul pelega palsu yang enak ''dikunyah'' aparat. Orang-orang
didekati, dan yang bergerak justru diabaikan. Tak ada kenegarawanan,
yang ada adalah ego dan kekerdilan jiwa. Kamu dan kami, kau dan aku. Tak
ada lagi kita.
Ini adalah Revolusi Putih yang menuntut keadilan.
Keadilan dalam banyak hal, yang mungkin tak disadari dan di luar dugaan
oleh penggeraknya itu sendiri. Ini adalah energi yang mestinya menjadi
aset. Ini adalah kekuatan bangsa yang selama ini terus berada di
pinggiran.
Demografi sosial kita sudah berubah: pendidikan,
literasi, kesehatan, pendapatan. Namun disparitas kita terus meningkat,
pemerataan mengalami kemunduran. Energi sentrifugal yang kian besar
dalam penguasaan aset ekonomi membuat sejumlah pihak mabuk dan
terbungkuk-bungkuk. Padahal di sisi lain, sedang ada arus balik.
Ada
rasa keterancaman identitas lokal serta tekanan terhadap ketahanan
nasional dan ekonomi nasional oleh arus globalisasi yang kini mulai
menggejala. Muncul pemimpin-pemimpin nasionalistik dan konservatisme.
Ada
Narendra Modi di India dan Duterte di Filipina. Yang fenomenal adalah
keluarnya Inggris dari Uni Eropa dan disusul oleh kemenangan Donald
Trump. Peringatan dari Panglima TNI Gatot Nurmantyo tentang Proxy War
merupakan fakta kuat dari gejala ini.
Ini adalah kode bagi bangsa
ini untuk kembali ke semangat proklamasi. Revolusi bangsa ini selalu
dibajak elite. Pancasila baru berhasil menjadi pemersatu namun belum
teruji sebagai nilai-nilai praksis, bahkan kemudian dibajak untuk
menjadi alat yang mendiskreditkan kritisisme dan tuntutan keadilan.
Alam
sudah memberi tanda. Generasi 1945 adalah generasi paling responsif
dalam melihat lingkungan global sehingga Indonesia menjadi pelopor
kemerdekaan bangsa-bangsa terjajah. Tapi sesudahnya kita selalu
tertinggal dalam merespons situasi. Karena itu Indonesia selalu menjadi
ajang eksploitasi bagi bangsa-bangsa lain. Kini, alam sudah mengirim
kode.
Selasa, 26 September 2017
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Berkahe Mayoritas
Saya hanya ingin mengatakan bahwa, Salah satu berkahnya Islam menjadi Mayoritas di Indonesia adalah: separah apa pun pemerintahnya, tidak ak...
-
Telah Lahir Generasi Baru ('Revolusi' Putih- 2) Oleh: Nasihin Masha Kolom Resonansi. Republika Online | Jumat, 25 Novem...
-
D i antara bangsa-bangsa besar (kuat) yang menerima hidayah Islam, tinggal bangsa kita, bangsa Melayu, atau disebut juga bangsa Jawa atau Ja...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar