Mencipta Predator untuk FPI
Oleh: Nasihin Masha.
Republika Online | Friday, 20 January 2017 | 06:00 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,
FPI, ormas yang kontroversial. Sikapnya jelas dan tegas. Jika diganggu
melawan. Jika ada yang dinilai melanggar hukum tapi aparat membiarkan
maka mereka yang akan bertindak. Mereka juga satu-satunya ormas yang
paling galak terhadap komunisme.
Habib Rizieq Syihab adalah imam
organisasi ini. Ceramahnya selalu pedas, dengan kata-kata yang
hiperbolis, kasar, dan tanpa tedeng aling-aling. Ia memilih nahi munkar
[saja] daripada amar ma'ruf atau amar ma'ruf nahi munkar.
Ia
selalu menyatakan biarkan ulama lain yang menanam, dia yang mencabuti
rumput dan membasmi hamanya. Saat beraksi, FPI selalu menggunakan
uniform yang khas FPI: pakaian putih-putih, serban hijau, penutup kepala
putih, bendera FPI, dan bahkan logo FPI di pakaiannya.
Di masa
SBY, Rizieq dua kali masuk penjara. Munarman yang menjadi panglima FPI
juga pernah masuk penjara. Orang-orang lapangan FPI adalah masyarakat
kelas bawah, bahkan ada yang mantan preman. Markasnya pun di Petamburan,
kawasan Tanah Abang.
Ini termasuk wilayah slum. Karena itu FPI
sering dikonotasikan dengan dunia abu-abu. Seperti perumpamaan dirinya
sebagai pembersih gulma dan pembasmi hama, sebagian orang juga menyebut
FPI sebagai gulma dan hama itu sendiri.
Buya Syafii Maarif,
mantan ketua umum PP Muhammadiyah, menyebutnya sebagai preman berjubah.
Bisa jadi ini karena cara FPI membersihkan gulma dan hama itu sendiri.
Atau bisa jadi karena ada ekses atau bahkan ada sesuatu yang
tersembunyi, dunia di balik panggung.
Tentu ada orang-orang yang
bisa bercerita karena pernah menjadi korban FPI. Ada pula yang
mengaitkan FPI dengan sejumlah jenderal polisi dan tentara. Jadi semacam
proksi saja dalam konfigurasi kepentingan percaturan elite nasional.
Namun
FPI juga dikenal cepat dan militan saat membantu korban bencana alam.
Tuntutan untuk membubarkan FPI nyaring terdengar. Namun hingga kini FPI
tetap hadir. Ada orang-orang yang merasa terwakili oleh FPI.
Ini
karena segala penyakit masyarakat yang jelas-jelas terlihat tak juga
ditertibkan aparat karena ada kongkalikong. Tokoh-tokoh dan ormas-ormas
mainstream juga mandul. Jika jalan utama mampet, maka jalan tikus akan
muncul, bahkan jalan melawan arus.
Kini, tiba-tiba FPI dan Rizieq
seolah menjadi pusat pergerakan Islam. Pemerintahan saat ini yang tak
pandai menjaga keseimbangan telah melahirkan kekecewaan umat Islam.
Partai-partai berbasis massa dan berideologi Islam sudah lama hanya
menjadi pelengkap.
Ormas-ormas Islam //mainstream// terlalu asyik
dengan gerbongnya sendiri dan menjadi buntut dalam pengambilan
keputusan negara, termasuk untuk kasus Ahok. Akibatnya saluran-saluran
formal menjadi mampet dan tak berdaya.
Satu-satunya jalan adalah
aksi massa. Dalam langgam kekuasaan saat ini yang cenderung keras
terhadap lawan-lawan politik, banyak orang yang jerih untuk bersuara.
Maka gaya Rizieq dan FPI menjadi relevan untuk berada di pusat.
Pada
sisi lain, yang memiliki massa terlatih dalam gerakan massa hanyalah
FPI. Organisasi ini sudah memiliki prosedur baku dalam gerakan massa,
bahkan memiliki mobil khusus untuk demonstrasi.Ada massa inti, ada
keresahan umum. Klop.
Upaya memecah sudah dilakukan. Hal itu
terjadi pada aksi 411. Upaya untuk menyisir juga sudah dilakukan, yaitu
sebelum aksi 212. Tokoh-tokoh dan ormas-ormas mainstream sudah didekati.
'Iklim takut' sudah pula dibuat via produksi wacana makar dan
ditunggang aktor politik.
Tapi massa yang sangat sebagian besar
bukan massa FPI tetap hadir, bahkan lebih besar. Kini, pertarungan itu
sudah masuk ke tahap berikutnya. Seperti singa mengincar mangsa:
pisahkan dari kerumunan. Lalu kejar dan terkam. Itulah yang kini sedang
terjadi pada Rizieq.
FPI dan Rizieq terus diupayakan dipisah dari
massa. Bagi orang-orang yang tak suka, FPI adalah hama dan gulma. Hama
harus dibasmi, gulma harus dibersihkan. Caranya? Semprot dengan racun
pestisida. Jika ada dugaan pelanggaran hukum, maka sikat tanpa ampun.
Agar
kerumunan yang lain diam, maka harus dibangun wacana bahwa FPI adalah
hama dan gulma. Secara kebetulan, menjelang pemeriksaan Rizieq di Polda
Jawa Barat, Tengku Zulkarnain diundang untuk berceramah di Sintang,
Kalimantan Barat.
Rupanya massa berpakaian etnis tertentu sudah
menunggu. Mereka membentangkan spanduk menolak kedatangannya. Mereka tak
menyebut nama, tapi di situ tertulis jelas menolak FPI. Inilah
prosekusi dan propaganda. FPI adalah hama dan gulma.
Padahal
Tengku Zulkarnain bukan FPI. Dai berdarah Tionghoa ini adalah aktivis
Jamaah Tablig. Organisasi ini nonpolitik.Di provinsi lain, ada pula
ormas yang memburu FPI dan pengikutnya. Mereka melakukan sweeping dan
menghajar mobil ataupun orang-orang yang diduga FPI.
Mereka
berseragam dan tertulis jelas nama organisasinya. Organisasi ini
memiliki pembina seorang jenderal polisi. Apa yang terjadi di dua
provinsi ini menunjukkan pola baru. Tak cukup menyemprotkan racun, tapi
juga ibarat melepas predator.
Situasi ini tentu mengerikan. Hama
dilawan hama. Massa diadu massa. Saat ini muncul tuduhan bahwa pencipta
predator itu adalah negara itu sendiri. Tak hanya mencipta tapi juga
melepaskannya untuk memangsa. Tentu ini memerlukan pembuktian
tersendiri, dan pasti tak mudah, walaupun indikasinya sangat kuat.
Pola
ini menunjukkan keputusasaan, rendahnya moralitas bernegara, pendeknya
akal, dan tentu saja melanggar hukum. Mestinya negara bertindak jika ada
hama, bukan melepas predator untuk saling tikam. Namun dalam negara
kekuasaan, semua itu kini sedang terjadi.
Padahal Indonesia
adalah negara hukum. Lalu mengapa semua itu berlangsung lancar-lancar
saja? Bahkan kaum cerdik pandai dan parlemen diam. Apakah Indonesia
sudah menjadi negara kekuasaan? Kita hanya bisa menunggu babak
selanjutnya.
Indonesia sedang memasuki periode peradaban terendah
dalam sejarah bangsa ini. Tak ada wacana, tak ada moral. Semua hanya
soal kekuasaan dan uang. Semua fokus pada jangka pendek. Mengelola
negeri seperti bermain catur: makan memakan, mati mematikan.
© 2015 republika.co.id - All Rights Reserved.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Berkahe Mayoritas
Saya hanya ingin mengatakan bahwa, Salah satu berkahnya Islam menjadi Mayoritas di Indonesia adalah: separah apa pun pemerintahnya, tidak ak...
-
Telah Lahir Generasi Baru ('Revolusi' Putih- 2) Oleh: Nasihin Masha Kolom Resonansi. Republika Online | Jumat, 25 Novem...
-
D i antara bangsa-bangsa besar (kuat) yang menerima hidayah Islam, tinggal bangsa kita, bangsa Melayu, atau disebut juga bangsa Jawa atau Ja...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar