Diam Bagai Gunung Berapi (‘Revolusi’ Putih 7).
Oleh: Nasihin Masha
Kolom Resonansi.
Republika Online | Jumat, 30 Desember 2016 | 06:00 WIB
Dua
petinggi negara pemegang otoritas penting mengadakan pertemuan dengan
sejumlah orang. Pejabat pertama mengatakan bahwa aksi 411 dan 212 itu
merupakan wake up call radikalisme Islam di Indonesia, sambil menegaskan
bahwa komunisme sudah bukan ancaman lagi bagi Indonesia. Pejabat kedua
menyebutkan bahwa semua rentetan itu merupakan bagian dari tahapan
menuju kehancuran seperti yang menimpa Suriah. Dua kesimpulan dari dua
pejabat itu sangat mengerikan. Bukan ngeri terhadap kesimpulannya, tapi
ngeri terhadap kemampuannya menyimpulkan.
Dengan segala otoritas
yang dimiliki, dengan segala sumberdana yang diberikan, dengan daya
dukung kelembagaan dan sumberdaya manusia yang ada, semestinya mereka
mampu menghimpun data secara lebih detil dan dalam. Mereka hanya fokus
pada FPI dan MMI saja. Mereka juga hanya mengambil pernyataan-pernyataan
yang sesuai untuk sampai pada kesimpulan itu. Cara menyimpulkan seperti
ini sangat khas penguasa yang defensif. Jika hendak objektif, ada dua
isu utama dari kejadian tersebut yaitu ada masalah dengan sila ketiga
dan sila kelima Pancasila: persatuan dan keadilan sosial.
FPI dan
MMI tak akan mampu menghimpun massa begitu banyak. Penyebutan FPI
karena ada Rizieq Syihab dan Munarman. Sedangkan MMI karena ada Muhammad
Al Khatthath. Tapi Al Khatthath bukanlah figur dominan pada gerakan
itu. Yang lebih dominan adalah Bachtiar Nasir dan M Zaitun Rasmin serta
jaringan ustaz muda. Keduanya jelas bukan FPI dan MMI. Karena itu, jika
hanya FPI dan MMI maka paling banter mereka hanya mampu mengerahkan
kurang dari sepuluh ribu orang. Lalu mengapa bisa hadir begitu banyak?
Pemimpin itu seperti seorang sales marketing. Jika bisa membuat produk
yang diterima umum, dipasarkan dengan cara yang tepat, dikemas dengan
baik, dan memiliki jaringan pemasaran yang bagus maka produk itu akan
laris di pasar.
Kesimpulan dua petinggi itu sebenarnya tak melulu
mewakili pandangan pemerintah. Karena ada satu petinggi lain yang
mencoba menetralisir dengan cara yang sangat halus. Intinya dia
mengatakan bahwa agar proporsional dalam menangkap kejadian tersebut
agar sampai pada kesimpulan yang objektif. Namun pandangan dua petinggi
itu tampaknya yang akan dioperasionalkan menjadi tindakan-tindakan
pemerintah. Walau aksi 212 diikuti oleh massa yang lebih banyak dan
lebih damai dibandingkan dengan aksi 411, sebetulnya upaya penetrasi
pemerintah ke ormas-ormas Islam utama dan ke tokoh-tokoh Islam utama
relatif berhasil. Karena itu aksi 212 tak diikuti oleh unsur yang lebih
banyak dibandingkan dengan aksi 411.
Pernyataan dua petinggi
tersebut merupakan kelanjutan belaka dari ‘keberhasilan’ mensortir
pihak-pihak pada aksi 212. Dengan cara itu maka diharapkan gerakan ini
akan mengecil dan menyisakan FPI dan MMI. Akhirnya kesimpulan bahwa 411
dan 212 sebagai wake up call radikalisme mendapatkan legitimasinya.
Kesimpulan ini sebetulnya sangat mirip dengan suara-suara netizen yang
sejak awal mencoba menghadang gerakan GNPF MUI di dunia maya. Namun
upaya itu gagal. Dunia maya dikalahkan oleh dunia nyata. Penyangkalan di
realitas cyber berhenti di hadapan realitas sosial. Upaya mengakomodasi
elite dianggap angin lalu oleh akar rumput. Gerakan 411 dan 212 bukan
semata soal Ahok, tapi ada perasaan umum ketidakpuasan publik. Inilah
energi yang sesungguhnya. Ada perubahan sosial yang menuntut perubahan
ekonomi dan politik.
Namun, apapun, upaya penyortiran dan
penyisiran yang diikuti stigmatisasi dan politik kata-kata lainnya
menghadirkan satu pertanyaan, apakah gerakan 411 dan 212 itu akan punah?
Mari
kita lihat fakta-fakta ini. Penangkapan banyak orang yang diduga
terlibat penggerebekan sebuah kafe di Solo. Pengaduan dugaan penistaan
agama terhadap Rizieq Syihab. Respons aparat terhadap akun sosmed yang
menyebutkan bantuan sebuah lembaga kemanusiaan dari Indonesia yang
diduga ditujukan ke pemberontak Suriah – lembaga kemanusiaan itu
disebut-sebut dipimpin oleh Bachtiar Nasir. Rumor penghadangan terhadap
Rizieq yang akan ke Medan. Pemeriksaan pemilik bus yang membawa
rombongan aksi 212. Secara simetris juga ada fenomena rutin tahunan
setiap menjelang Natal: penangkapan terduga teroris. Berita seperti ini
yang bertubi-tubi bisa membangun persepsi tertentu. Bisa melumerkan
ataupun bisa makin mengkristalkan keadaan.
Pada sisi lain,
eksponen 411 dan 212 juga memelihara stamina publik dengan mengadakan
roadshow ke berbagai daerah di Indonesia. Sedangkan di kubu sebelah
makin jelas terlihat bisik-bisik melawan gerakan 411 dan 212 dengan
kata-kata “at all costs” akan dihadapi. Dua pihak sudah on fire. Kita
berharap tak terjadi ‘Tragedi Priok Jilid II’. Tragedi 1984 itu juga
diawali ketidakpuasan santri terhadap keadaan. Lalu dihadapi dengan
stigmatisasi “ekstrem kanan”. Hal itu tak membuat surut namun justru
makin mengeras dan berujung pada tragedi berdarah.
Menyebut
tragedi 32 tahun lalu bukan hendak menakut-nakuti apalagi
memanas-manasi. Tapi justru kita harus belajar dari sejarah. Jika tidak
ada upaya khusus maka arus sosial itu mengalir secara begitu saja. Arus
sosial itu seperti api dalam sekam, seperti magma di perut gunung: hidup
menghimpun energi. Seperti kata Iwan Simatupang, sastrawan: tidak ada
masyarakat yang diam.
Selasa, 26 September 2017
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Berkahe Mayoritas
Saya hanya ingin mengatakan bahwa, Salah satu berkahnya Islam menjadi Mayoritas di Indonesia adalah: separah apa pun pemerintahnya, tidak ak...
-
Telah Lahir Generasi Baru ('Revolusi' Putih- 2) Oleh: Nasihin Masha Kolom Resonansi. Republika Online | Jumat, 25 Novem...
-
D i antara bangsa-bangsa besar (kuat) yang menerima hidayah Islam, tinggal bangsa kita, bangsa Melayu, atau disebut juga bangsa Jawa atau Ja...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar