Telah Lahir Generasi
Baru ('Revolusi' Putih- 2)
Oleh: Nasihin Masha
Kolom Resonansi.
Republika Online |
Jumat, 25 November 2016 | 06:00 WIB
GNPF sudah mengumumkan, mereka akan tetap melakukan aksi lanjutan. Status
tersangka yang sudah diterakan ke Ahok tak membuat mereka berhenti. Ada nada
ketidakpercayaan pada kesungguhan aparat dalam menegakkan keadilan.
Pada sisi lain, Ahok
tak berhenti menghamburkan pernyataannya yang agresif. Kali ini ia menuduh
peserta aksi 411 dibayar Rp 500 ribu per orang. Ia juga mengecilkan aksi
kemarin hanya diikuti 100 ribu orang saja.
Mereka sudah
mencanangkan bahwa aksi berikutnya akan dilakukan pada 2 Desember alias 212.
Apakah aksi nanti akan sebesar atau lebih besar daripada aksi 411? Atau aksi
nanti justru lebih kecil daripada aksi sebelumnya? Atau bahkan aksi nanti tak
terjadi sama sekali?
Pertanyaan-pertanyaan
itu tak penting benar. Yang lebih penting memaknai aksi-aksi tersebut agar kita
sebagai bangsa tak terantuk karena salah diagnosa.
Hadirnya aksi-aksi
lain dengan propaganda aksi 411 sebagai anti- Pancasila, anti-Bhinneka Tunggal
Ika, dan anti -NKRI menunjukkan miskinnya penghayatan politik kenegaraan dan
kenegarawanan.
Pada 1 Juni 1945,
Sukarno menyampaikan Pancasila sebagai philosofische grondslag, dasar falsafah
negara. Salah satu silanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. "Dan hendaknya
negara Indonesia satu negara yang ber-Tuhan!" katanya.
"Marilah kita
amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang
berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat menghormati satu
sama lain."
Saat memberikan
kursus tentang Pancasila, 16 Juni 1958, Sukarno bertanya mengapa jumlahnya lima
dan bukan dasasila, bukan catursila, bukan trisila, atau bukan saptasila.
Sukarno menjawab,
untuk mencari dasar statis (dasar pijakan) dan leitstar dinamis (petunjuk arah)
maka harus menggali sedalam-dalamnya dari jiwa masyarakat Indonesia itu
sendiri, bukan yang tak ada dalam jiwa masyarakat Indonesia.
Dengan demikian
dasar-dasar itu bisa menimbulkan panggilan (appeal) kepada jiwa bangsa
Indonesia, yang bisa menggerakkan, yang memompakan kemauan berkorban, yang
menggelembungkan tekad, dan yang mendorong kemauan untuk berjuang.
Berdasarkan
penggaliannya itu ia menemukan lima sila, salah satunya sila Ketuhanan.
Sehingga wajar saja jika kini ada sentilan terhadap aspek Ketuhanan menimbulkan
reaksi yang hebat.Harus diakui orde reformasi adalah orde tanpa gagasan yang
solid.
Setiap orang
bergerak menurut pikirannya sendiri. Dimulai dengan mendekonstruksi UUD 1945.
Setelah itu Pancasila dikembalikan di rak. Mirip ketika setelah proklamasi
orang tak pernah membicarakan lagi tentang Pancasila.
Harus diakui
Pancasila baru sebatas doktrin dan gagasan sehingga belum menjadi ajaran
praksis. Karena itu kemudian Sukarno mengadakan kursus Pancasila dan kemudian
mewujudkannya dalam Demokrasi Terpimpin, struktur lembaga negara yang baru,
tujuh bahan pokok indoktrinasi, dan konsep Pembangunan Semesta Berencana.
Sukarno sedang
menerjemahkan Pancasila sebagai ideologi praksis. Menurut Sukarno ideologi itu
harus memiliki tiga unsur: gambaran cita-cita ke depan, kemauan untuk
mencapainya, dan kemampuan untuk melaksanakannya.Namun negara Nasakom itu
runtuh.
Soeharto kemudian
membuat rumusan baru tentang praksis Pancasila. Ia melahirkan Eka Prasetya
Panca Karsa atau P4, GBHN, dan kelembagaan negara yang merupakan pembaruan dari
masa Sukarno.
Kini, di era
reformasi, Pancasila hanya menjadi jargon dan ideologi pemersatu, bahkan
diselewengkan sebagai alat pemukul lawan. Tak ada upaya menjadikan Pancasila
sebagai ajaran praksis.
Karena itu arah
pembangunan dilakukan sesuai selera penguasa, dan dalam praktiknya dikendalikan
segelintir atau puluhan saja pemilik uang. Kita telah melalui fase oligarkis
selama 10 tahun dan kini masuk fase plutokratis, keduanya jelas tak sesuai
ajaran Pancasila.
Kini reformasi telah
berjalan 18 tahun. Indonesia belum beranjak ke mana-mana. Kita masih tetap
sebagai negara penjual sumber daya alam, menjadi negara pedagang. Kita hanya
dininabobokan besaran GDP, nilai APBN, dan angka-angka pertumbuhan ekonomi.
Semua itu semu.
Kelembagaan kita lemah, industri kita tidak ada, kualitas sumber daya manusia
belum kompetitif. Jika rezim sebelumnya sibuk dagang tambang mineral, maka
rezim saat ini sibuk membangun infrastruktur.
Dan sekarang politik
menjadi panas hanya karena megaproyek reklamasi, yang sama sekali tak terkait
dengan aspek penguatan kelembagaan, industri, sumber daya manusia, apalagi
pemerataan ekonomi.
Selebihnya kita
tetap menjadi pasar, buruh murah, dan eksploitasi sumberdaya alam.Sistem
reformasi sedang menuju ke titik gagal. Generasi baru yang datang menyembul
mulai gelisah tentang ruang partisipasi di segala hal dan jurang kaya-miskin
yang makin lebar.
Generasi datang dan
pergi adalah siklus normal. Sistem yang baik akan mampu mengikuti ritme itu.
Yang menjadi masalah adalah manakala perubahan demografi tidak bisa diserap
oleh sistem. Pada titik inilah kita harus memaknai aksi 411.
Mari kita lihat
pembabakan sejarah kita. Belanda memulai politik etis pada 1901, pribumi mulai
lebih leluasa sekolah walau hanya untuk anak bangsawan dan pegawai pemerintah
kolonial serta untuk orang Timur Asing dan yang beragama Kristen.
Itupun langsung
menghasilkan lahirnya organisasi-organisasi kebangsaan. Pada 1920-an pergerakan
kebangsaan memasuki musim semi dengan puncaknya adalah Sumpah Pemuda. M Yamin
dan Soegondo yang menjadi tokoh sentral adalah kelahiran 1902 dan 1905.
Mereka benar-benar
buah Politik Etis. Generasi inilah yang menjadi pemetik buah kemerdekaan.
Sukarno lahir 1901 dan M Hatta lahir 1902. Pada 1966 lahir Orde Baru. Tokoh
utamanya adalah Soeharto, kelahiran 1921.
Ada dua tokoh lain
yang menjadi mitra triumvirate-nya dan satu pemimpin teknokrat, yaitu Adam
Malik (1917) dan Widjojo Nitisastro (1927). Mereka adalah generasi yang lahir
di musim semi pergerakan nasional. Hanya Sultan HB IX yang paling tua, lahir
tahun 1912.
Di masa akhir Orba
ada tiga peristiwa penting, yaitu pada 1990 lahir ICMI dan Fordem serta pada
1993 Megawati menjadi ketua umum PDI. Tokoh-tokoh ICMI adalah Amien Rais (lahir
1947), Dawam Raharjo (1942), Nurcholish Madjid (1939), Adi Sasono (1949), BJ Habibie
(1936).
Sedangkan tokoh
Fordem adalah Abdurrahman Wahid (1940), Marsillam Simanjuntak (1943), Bondan
Gunawan (1948). Megawati sendiri kelahiran 1947. Mereka adalah generasi yang
dibesarkan setelah kemerdekaan.
Tiga peristiwa itu
merupakan musim semi bagi berbuahnya reformasi. Mereka inilah yang berada di
puncak era reformasi.Kini, tokoh-tokoh GNPF kelahiran tahun 1960-an. Bachtiar
Nasir kelahiran 1967, M Zaitun Rasmin (1966), Habib Rizieq Syihab (1965),
Munarman (1968).
Penyebutan empat
orang ini bukan hendak mengagulkan mereka atau berlebihan menilai GNPF, tapi
sedang memperlihatkan munculnya generasi 1960-an yang bersekolah di masa Orde
Baru. Jika sistem yang ada saat ini tak mampu menampung perubahan demografi
maka generasi 1960-an ini akan datang mendesak.
Generasi Sukarno
kelahiran 1900-an, generasi Soeharto kelahiran 1920-an, generasi Amien Rais
kelahiran 1940-an, dan kini generasi 1960-an. Ada rentang 20-an tahun. Generasi
1960an kemudian menjadi aktivis mahasiswa 1980-an, yang kini limbung tergulung
aktivis 1990-an.
Apakah aktivis
1980-an ini akan bangkit atau justru tenggelam bersama sejarah. Orang-orang
yang gelisah dengan kesenjangan, kedaulatan, ketahanan nasional, pemerataan
ekonomi, dan keadilan hanya masalah waktu saja untuk semburat.
Mereka akan menafsir
kembali Pancasila dan UUD 1945 agar relevan dengan tuntutan kebangsan terkini.
Jika GNPF datang dengan corak agama sebagaimana ICMI, maka berikutnya bisa
muncul gerakan dengan corak seperti Fordem terutama dari sayap progresif.
Atau justru generasi
santri akan mampu mentransformasikan diri dalam merumuskan gagasan dengan tema
yang melampaui ide-ide tradisionalnya walau tak meninggalkan basis sosial dan
kulturalnya. Tanda-tanda ke arah itu sudah mulai tampak.
Arus sejarah ini tak
bisa ditakut-takuti oleh 'tim hore' atau alat-alat negara. Pimpinan TNI
terlihat memahami situasi ini, sedangkan Polri tampak bingung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar