Al Maidah 51
Membelit Ahok
Oleh: Nasihin Masha
Kolom Resonansi.
Republika Online |
Jumat, 21 Oktober 2016 | 06:00 WIB
“Wahai orang-orang yang beriman. Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan
Nasrani sebagai aulia (mu); mereka satu sama lain saling melindungi. Barang
siapa di antara kamu yang menjadikan mereka aulia, maka sesungguhnya dia
termasuk golongan mereka. Sungguh Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zalim.” (QS Al Maidah: 51)
Sengaja saya tulis
terjemahan ini menggunakan kata aslinya, yaitu aulia. Karena ada yang
menerjemahkan dan menafsirkan aulia ini sebagai teman setia, ada pula yang
menerjemahkan dan menafsirkan aulia sebagai pemimpin, bahkan pelindung. Dalam
Islam perbedaan itu hal biasa. Tak bisa saling menyalahkan. Silakan ikuti
sesuai keyakinan masing-masing.
Dalam konteks
Pilkada DKI Jakarta, ayat ini dipakai sebagian pihak untuk menolak Ahok. Namun
sebagian yang lain menerima Ahok. Berapa persen yang menolak Ahok karena faktor
ini belum ada yang menyiginya. Namun diperkirakan tidak fantastis. Karena
sebagian yang menolak Ahok bisa karena faktor yang lain seperti gaya bicara,
gaya kepemimpinan, kasus reklamasi, preferensi etnis, daya tarik kandidat lain,
penggusuran, dan sebagainya. Hal ini bisa dibuktikan pada kemenangan
Jokowi-Ahok pada Pilkada DKI tahun 2012. Saat itu sebagian pihak sudah
menyadari bahwa Jokowi akan maju dalam Pilpres 2014. Saat itu sudah ada
kampanye untuk tak memilih Jokowi-Ahok karena Jokowi akan maju dalam pilpres.
Apalagi sudah ada preseden bahwa pasangan Jokowi di Solo juga beragama Kristen
[Katolik]. Karena Jokowi maju sebagai gubernur DKI maka pasangannya itu kini
menjadi walikota Solo, yaitu FX Hadi Rudyatmo. Namun kampanye itu tak mempan.
Orang tetap memilih Jokowi-Ahok, dan kemudian Jokowi-JK dalam pilpres.
Lalu mengapa soal
agama Ahok itu kini menjadi soal yang seolah serius? Ada banyak faktor.
Pertama, isu itu berpadu dengan faktor negatif Ahok sehingga menimbulkan
resonansi yang nyaring. Kedua, faktor ini sengaja ada yang memainkan untuk
keuntungan kandidat tertentu. Bisa dari kubu Ahok sendiri, bisa juga dari kubu
lain. Kok kubu Ahok? Ya. Isu sentimen agama dalam politik Indonesia, apalagi
Jakarta, tak selalu menguntungkan bagi kontestan muslim. Bangsa ini secara umum
lebih menyukai inklusivitas dan toleransi. Secara natural itu sudah menjadi
jiwa bangsa Indonesia sejak awal, jauh sebelum masuknya agama Hindu, Buddha,
Islam, maupun Kristen. Pada sisi lain, pemilih yang menolak ahok berdasarkan
agama sudah dari awal sudah tak akan memilih Ahok. Sehingga isu ini tak
bermanfaat untuk dihembuskan menyerang Ahok. Memang ada harapan untuk swing
voters yang belum mengambil keputusan. Tapi pemilih ini secara umum lebih
menyukai pilihan yang menjadi kecenderungan umum ataupun pemilih rasional.
Pemilih rasional tentu tak berpreferensi agama. Pemilih yang ikut tren juga
menyukai yang fun. Seperti kemenangan Jokowi pada Pilpres 2014 yang ditentukan
Konser Dua Jari. Jadi isu agama hanya memberikan keuntungan yang sedikit untuk
lawan Ahok. Karena itu diksi yang banyak digunakan tim kampanye Ahok adalah
NKRI, pluralisme, dan jangan SARA. Namun ketakpahaman juga banyak menyelimuti
orang-orang yang emosional. Juga ada faktor emosi yang mudah tersulut.
Pada sisi lain, di
sejumlah daerah lain, yang mayoritas beragama Islam, juga terdapat kepala
daerah yang beragama Kristen. Partai-partai berideologi dan berbasis massa
Islam juga biasa mengusung kandidat nonmuslim. Karena itu faktor agama,
bukanlah faktor dominan. Bahwa masih ada sebagian kecil masyarakat yang masih
mengukuhi hal itu tentu saja tak dipungkiri. Kita tak bisa menyuruh orang untuk
seragam. Di Amerika Serikat pun kampanye semacam itu dilakukan. Contohnya saat
Barack H Obama maju sebagai kandidat presiden. Ayahnya yang muslim diungkit.
Nama tengahnya yang Husein dituduhkan bahwa Obama beragam Islam. Bahkan ia
sempat dituduh sekolah madrasah saat tinggal di Indonesia. Padahal dia sebentar
sekolah di sekolah negeri, dan lebih lama di sekolah Kristen di Jakarta. Itulah
realitas masyarakat yang majemuk dan realitas politik yang keras.
Namun pada titik ini
justru Ahok memasukinya. Inilah petikan transkrip pidatonya di Pulau Pramuka,
Kepulauan Seribu, pada 27 September lalu: “Kan bisa saja dalam hati kecil
Bapak-Ibu gak bisa pilih saya. Ya kan dibohongin pake surat Al Maidah 51
macem-macem itu...(hadirin tertawa). Itu hak Bapak-Ibu, ya. Jadi Bapak-Ibu
perasaan gak bisa pilih nih karena 'saya takut masuk neraka'...dibodohin
itu...ngga papa. Karena itu panggilan pribadi Bapak-Ibu.”
Sehari kemudian,
pada 28 September, sudah muncul berita ada pengaduan ke Bawaslu tentang ucapan
Ahok tersebut. Di Youtube, pada 28 September itu, ada yang mengunggah berita
dari TV Beritasatu yang berisi tanggapan Ahok terhadap semua itu. Ahok
membantah bahwa itu sebagai pelecehan. “Semua orang boleh mengutip kitab suci.
Kitab suci terbuka untuk umum,” katanya. Bahkan Ahok menyatakan bahwa Alquran
dipertandingkan lewat MTQ. “Dipertandingkan lagi. Dapat hadiah lagi. Melecehkan
tidak?” katanya.
Ahok merasa tak ada
kekeliruan dari pidatonya. Ia tak merasa bersalah, bahkan bicaranya melebar ke
MTQ. Hal itu juga dilakukan para pendukungnya lewat media sosial. Mereka bukan
hanya membela Ahok tapi juga menyerang pihak yang berbeda. Sudah menjadi ciri
sosmed dan cyber army untuk bersifat agresif, memaki, dan menghina. Ini karena
media sosial bersifat kerumunan dan kental dengan watak membully. Apalagi
banyak akun-akun anonim dan robot, juga spin yang mengulas di luar substansi.
Benar sekali bahwa
mengutip Alquran atau kitab suci apapun bebas. Namun yang menjadi soal adalah
penilaian bahwa itu “dibohongin” dan “dibodohin” dengan menggunakan Al Maidah
ayat 51. Adanya perbedaan tafsir bukan berarti yang satu berbohong atau membodohi
dan yang lain benar sendiri. Tidak. Dua-duanya atau bahkan tiga-tiganya,
empat-empatnya, dan seterusnya adalah benar. Itulah norma yang berlaku di dalam
Islam. Apalagi ada yang menafsirkan kalimat Ahok itu sebagai dibohongi dan
dibodohi oleh Al Maidah ayat 51 itu sendiri. Jika yang pertama adalah menafikan
tafsir lain sebagai kebohongan dan pembodohan, maka yang kedua ini lebih berat
lagi karena Al Maidah ayat 51 itu sebagai kebohongan dan pembodohan. Dua tafsir
dari kalimat Ahok itulah yang berkembang di masyarakat. Karena itu wajar jika
hal itu menimbulkan riak yang keras. Tak hanya dari awam tapi juga dari ulama
dan institusi resmi MUI melalui sikap yang resmi pula.
Karena ini sudah
masuk wilayah politik, maka para pihak pendukungnya melakukan pembelaan. Inilah
dampak serius dari pidato Ahok tersebut. Terjadi saling serang di level sosial.
Kita bersyukur kemudian Ahok meminta maaf, walau cukup terlambat. Pidato tanggal
27 September, esoknya sudah ada reaksi keras, namun baru minta maaf pada
tanggal 10 Oktober. Permintaan maaf itu dilakukan melalui wawancara doorstop
dengan wartawan.
Inilah petikan
pernyataan Ahok tersebut: “Saya sampaikan kepada semua umat Islam ataupun orang
yang merasa tersinggung, saya sampaikan mohon maaf. Tidak ada maksud saya
melecehkan agama Islam atau Alquran.”
Ia juga mengatakan,
“Saya dari kecil...kamu bisa lihat...bukan kita mau riya gitu
ya...sekolah-sekolah Islam kita bantu izin berapa banyak selesaikan izin,
termasuk KJP untuk madrasah, termasuk kita bangun masjid. Kamu bisa lihat
tindak-tanduk saya ada nggak musuhin Islam, ada nggak pengen melecehkan
Alquran. Makanya saya minta maaf untuk kegaduhan ini.”
Ia melanjutkan,
“Saya pengalaman saya dari 2003 selalu mengalami selebaran seperti ini. Makanya
saya lumayan hapal.” Ia mengatakan, “Untuk semua pihak yang jadi repot, gaduh,
gara-gara saya, saya sampaikan mohon maaf... Jangan ngomongin tafsiran-tafsiran
agama yang sensitif, karena sesama agama yang sama pun bisa menafsirkannya
berbeda. Ya sudah saya minta maaf untuk itu.”
Padahal jika melihat
data survei, jelas sekali dukungan umat Islam ke Ahok sangat kuat. Berdasarkan
data Lingkaran Survei Indonesia (LSI), 27,7 persen pemilih Islam memilih Ahok.
Sedangkan Anies hanya dipilih 22,8 persen dan Agus cuma 20,6 persen pemilih
muslim. Masih ada 28,9 persen pemilih muslim yang belum mengambil keputusan.
Mari bandingkan dengan pemilih nonmuslim. Mayoritas mereka terserap di Ahok,
yaitu 83,3 persen. Bandingkan dengan Anies dan Agus yang masing-masing cuma
kebagian 2,8 persen dan 3,2 persen. Hanya 10,7 persen nonmuslim yang belum
menentukan pilihannya.
Data Populi juga
mirip. Ahok didukung pemilih muslim. Ia meraih 42,5 persen. Sedangkan Anies dan
Agus masing-masing kebagian 25,3 persen dan 16,8 persen. Adapun pemilih
Protestan dan Katolik terserap ke Ahok yaitu 80 persen dan 82 persen. Untuk
pemilih Protestan dan Katolik masing-masing 0 persen dan 11,8 persen untuk
Anies, serta 10 persen dan 0 persen untuk Agus. Pemilih muslim masih ada 13,2
persen yang belum memutuskan, sedangkan untuk Protestan dan Katolik
masing-masing 5 persen dan 0 persen yang belum bersikap.
Dalam politik,
sesuatu yang wajar jika minoritas cenderung solid dalam menyerahkan suaranya.
Hal ini terjadi di banyak negara. Tapi data itu juga menunjukkan bahwa Ahok
selalu mendulang suara tertinggi dari pemilih muslim dari dua survei tersebut.
Ini menunjukkan Ahok bisa diterima oleh muslim, tapi juga sekaligus
memperlihatkan sikap inklusif dan plural muslim sudah menjadi bagian inheren
dalam nilai-nilai muslim. Jika ada sebagian kecil yang berpendapat di sisi
ujung tentu wajar dalam suatu masyarakat. Namun mereka bukan Geert Wilders atau
Donald Trump yang merupakan tokoh politik resmi dan di pucuk pimpinan nasional
di negaranya masing-masing.
Kebesaran jiwa,
kerelaan hati, kejujuran, dan bersikap lembut hati dalam melihat perbedaan
harus menjadi watak dasar pemimpin bangsa dan negara. Satu orang saja pemimpin
yang tidak bisa mengontrol kata-katanya bisa berdampak luas di tingkat akar
rumput. Kita berharap bahwa norma demokrasi, inklusivitas, dan nondiskriminasi
menjadi watak dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
© 2015
republika.co.id - All Rights Reserved.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar