Secangkir Kopi Panas di Kala Senja
Kamis, 15 September 2022
Berkahe Mayoritas
Kebahagiaan itu ada di Pinggir Jalan
Gado gado itu bernama Indonesia
Kalau ini kalau itu
Kamis, 02 Mei 2019
Jati Diri Bangsa Indonesia (Melayu/Jawa) - Prolog
Di antara bangsa-bangsa besar (kuat) yang menerima hidayah Islam, tinggal bangsa kita, bangsa Melayu, atau disebut juga bangsa Jawa atau Jawi yang belum diberikan anugerah oleh Allah untuk memimpin Dunia.
Kelak bangsa kita akan menaklukkan Roma yang belum sempat diselesaikan oleh Muhammad Al Fatih dari Kekhalifahan Utsmani, dan akan menguasai dunia tetapi tidak menjajah melainkan menjadi pengayom, Hamengku Buwono, memangku dunia.
Insyaa Allah.
Senin, 31 Desember 2018
Anies Ditekan, Anies Melawan
By Tony Rosyid
Pengamat Politik (Direktur Graha Insan Cendikia dan Ketua FASS Jabodetabek)
Dimanapun negara, pasti berat bila berseberangan dengan penguasa dan taipan. Berani dikit, posisi bisa dilengserkan. Apalagi kalau salah kelola anggaran, atau main perempuan. Tak jarang ada yang dibiarkan jadi "sandera" atau malah "tahanan". Kadang-kadang tanpa proses persidangan. Alasannya: makar dan negara terancam. "Klise". Apalagi kalau bawa-bawa istilah anti pancasila dan anti kebhinekaan, makin sempurnalah sebuah tuduhan.
Ketua-ketua partai dan para pimpinan daerah seringkali tak luput dari bidikan. Sikap represif ini ada sejak zaman Orla, Orba, dan sampai sekarang secara turun temurun diwariskan. Hanya beda kadar dan ukuran. Ada yang sembunyi-sembunyi dengan beragam kemasan, ada pula yang terang-terangan. Malah ada yang cenderung dipertontonkan.
Apakah tindakan represif ini juga dirasakan Gubernur dan Wagub DKI, Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Shalahudin Uno?
Kabar yang banyak beredar, Anies juga sering jadi target dan pernah ditekan. Anies takut? Semula memang banyak pihak meragukan. Anies dianggap tak punya ketegasan, apalagi berada di bawah ancaman. Lelaki yang dibesarkan di Jogja dengan tata krama dan sopan santun ala Jawa ini tak punya wajah garang. Dibanding gubernur sebelumnya, tentu kalah seram. Vokal suaranya tak lantang. Lebih nampak sebagai pemikir yang mengumbar senyuman.
Setelah Anies tutup Alexis, masyarakat mulai bimbang: punya nyali juga rupanya. Tidak disangka, sikap pendiam rupanya menghanyutkan. Sampai disini Anies mulai melakukan pembuktian. Orang belum yakin sepenuhnya. Publik pun menunjukkan, di luar Alexis, ada Alexis-Alexis lain yang harus diburu dan dibekukan. Publik berharap Anies-Sandi bisa membuktikannya lagi. Jika tidak, maka publik akan bilang: itu cuma pencitraan.
Memang, sebagian orang masih bilang: itu pencitraan. Terutama mereka yang belum bisa "move on" dari kekalahan. Ini biasa, wajar dan harus dimaklumi. Dalam politik ada luka. Tidak setiap luka bisa cepat untuk disembuhkan. Apalagi, setiap orang juga berbeda dalam membuat ukuran kepercayaan. Mereka mesti dirangkul dan diberi pengertian.
Ditengah keraguan sebagian orang, Anies kembali membuat kejutaan. Kali ini, giliran lahan R.S. Sumber Waras. BPK mencatat, transaksi pembelian lahan ini terbukti merugikan. Negara kehilangan 191,33 milyar. Lumayan besar. Sempat Ahok dan sejumlah orang dipanggil KPK. Habis itu, kasus seolah dilupakan. Jejaknya lenyap dari berita media. Publik sempat curiga: ada kekuatan yang sedang mengendalikan. BPK tidak mungkin salah.
KPK berdalih: tak ada niat jahat di kasus ini. Publik makin curiga. Bagaimana tidak ada niat jahat, sementara pembayaran dilakukan secara cash. Ratusan milyar cash? Aneh! Ada suatu keganjilan. Gegara kasus ini, Kredibiltas KPK mulai dipertanyakan. Masyarakat bilang: KPK masuk perangkap permainan.
Untuk efektifitas pencegahan dan pemberantasan korupsi, Anies membentuk KPK sendiri, KPK DKI. Hanya mirip fungsi dengan KPK yang sudah ada, tapi beda wewenang. Bersama KPK DKI yang baru ini, Anies minta Wagub menuntaskan kasus jual beli lahan Sumber Waras. Harus tetap diusut dan dituntaskan. Bambang Widjajanto, mantan wakil ketua KPK, dan Ogoeseno, bekas wakapolri ini bersama timnya mendapat tugas untuk mendampingi. Dengan melibatkan tim hukum ini, Anies nampak punya keseriusan dalam menangani permasalah korupsi di DKI.
Pihak Sumber Waras diberi dua pilihan: kembalikan 191,33 milyar ke negara, atau jual beli dibatalkan. Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) sebagai penjual lahan berdalih: tak ada dasar untuk mengembalikan. Jika demikian, opsinya adalah pembatalan.
Veronica Tan, istri Ahok yang diduga terlibat keburu mau diceraikan. Adakah hubungannya? Ahli hukum Djoko Edy Abdurrahman, wasek LPBH PBNU sudah mulai mengkait-kaitkan. Tulisannya yang viral di medsos (jika benar) berupaya membuat logika kausalitasnya. Sangat "tidak etis" dibicarakan jika memang tidak ada kaitan. Tapi, posisi Veronika Tan adalah ketua Yayasan Kanker Indonesia Wilayah DKI saat itu. Oleh KPK dianggap ikut terlibat dalam proses jual beli lahan R.S Sumber Waras. Faktor ini yang mendorong orang lalu mengkait-kaitkan.
Kasus Sumber Waras sedang dalam proses untuk diselesaikan, Anies lagi-lagi membuat kebijakan mengagetkan: Hak Guna Bangunan (HGB) pulau reklamasi dibatalkan. Semua surat pengajuan ke BPN ditarik kembali. Segala bentuk pembangunan dan kegiatan apapun harus dihentikan. Apa dasarnya? Prosedur penerbitan HGB telah menabrak banyak aturan. Perda belum jadi, HGB sudah diterbitkan. Khususnya pulau D, HGB terbit sehari setelah pengukuran. Pulau seluas 483,6 ha diukur tanggal 23 agustus 2017, tanggal 24 sudah diterbitkan. Ini sungguh keterlaluan.
Pembatalan HGB berlaku untuk semua pulau B,C,D dan G. Publik tak menyangka Anies berani melakukan itu. Gila! Dengan begitu Anies mesti siap-siap berhadapan dengan sejumlah taipan, termasuk Aguan.
Di mata publik, keberanian ini memberi kredit poin kepada gubernur dan wagub baru ini. Pasalnya, nyali ini dibuktikan berani berhadapan dengan taipan yang selama ini dicurigai menjadi bohir dibalik kekuasaan. Saat LBP dikonfirmasi media, ia menjawab: itu hak gubernur Jakarta. Luhut tak segarang sebelumnya.
Dirunut dari sejarah awalnya, reklamasi adalah proyek lama. Pergub pertama dibuat oleh gubernur Jokowi. Lalu dimulai pembangunan saat Ahok jadi gubernur menggantikan Jokowi. Banyak protes, tapi tak digubris. Tangan-tangan kekuasaan diduga "back up" di belakang.
Saat Rizal Ramli diangkat jadi menko maritim, moratorium dibuat. Kesimpulannya: banyak masalah dan berdampak besar jika reklamasi diteruskan. Tak lama kemudian, sang menteri dipecat dan diganti Luhut Binsar Panjaitan. Lalu, moratorium dibatalkan. Dengan bersemangat menko maritim yang baru ini bilang: reklamasi dilanjutkan.
Beberapa hari sebelum Anies-Sandi dilantik, rancangan perda reklamasi sudah diajukan ke DPRD. Saat itu, Djarot Saiful Hidayat gubernurnya. Salah seorang menteri pun kabarnya memanggil Sandiaga Uno dan memberi ancaman. Sang menteri akan mencari-cari kesalahan jika Sandi berani hentikan reklamasi. Sandi gentar? Rupanya tidak.
Belum sempat perda reklamasi itu disahkan, Anies-Sandi buru-buru menghentikan. Keputusan diambil tak lama setelah pelantikan. Ancaman diabaikan. Sang menteri tak berkutik dan diam. Memang, proses ini cukup dramatis dan menegangkan.
Sampai disini, rasanya tidak bijak jika ada yang masih menyebut pencitraan. Beda pembuktian dengan pencitraan. Pencitraan itu cirinya:
*pertama,* ada kesan dibuat-buat dan penuh kepura-puraan. Yang terlihat berbeda dari yang sebenarnya. Tak sama antara panggung depan dengan panggung belakang. Berita media jauh beda dengan kenyataan.
*Kedua,* ujung-ujungnya tidak ada pembuktian. Karena itu bukan program, tapi branding dan jualan. Hanya sekedar untuk iklan dan magnet mendatangkan pujian. Rakyat mesti peka: mana janji, mana bukti. Ini bisa jadi alat ukur melihat pemimpin dan penguasa.
*Ketiga,* biasanya berkaitan dengan hal-hal kecil, remeh temeh, dan sederhana. Blusukan, cara berpakaian, tampil sederhana untuk iklan kebersahajaan. Atau sekedar marah-marah dan gebrak meja. Semua hal tak penting yang kira-kira bisa jadi magnet perhatian. Itu namanya pencitraan.
Banyak orang tertipu dan jadi korban pemimpin yang hanya sibuk membuat pencitraan. Di media bilang A, di lapangan melakukan B. Saatnya rakyat mesti dicerdaskan. Rasio dan bukti mesti diutamakan. Anies-Sandi punya tugas untuk itu.
Pembatalan reklamasi adalah keputusan berisiko, apalagi sampai adu nyali lawan taipan, bahkan kekuasaan. Hanya "orang gila" yang melakukan ini untuk bermain-main dengan pencitraan.
Rupanya, Anies memang tidak bisa diancam. Semakin ia ditekan, semakin ia melawan. Begitu pula dengan Sandi. Beginilah mestinya keberanian seorang pemimpin, bukan cari pencitraan, tapi sibuk membuktikan. Soal ini, Anies bisa jadi inspirasi dan panutan.
Jakarta, 10/1/2018
Kamis, 11 Januari 2018
Keistimewaan Dinar dan Dirham
Dinar yang menjadi nilai tukar uang umat Islam pada masa lalu memiliki nilai intrinsik berupa emas. Para ahli sejarah pun mencatat adanya alat tukar tersebut membuat nilainya stabil dengan alat tukar lainnya.
Tidak ada istilah atau fenomena inflasi dan deflasi pada masa tersebut. Pada saat ini pun, nilai seekor kambing masih sama dengan ketika masa Rasulullah SAW, yakni berkisar 1 dinar atau Rp 2,2 juta.
Tujuh ratus tahun sebelum Adam Smith menulis buku The Wealth of Nation, seorang ulama bernama Abu Hamid al-Ghazali telah membahas fungsi uang dalam perekonomian. Beliau menjelaskan, fungsi uang adalah sebagai alat untuk melancarkan pertukaran dan menetapkan nilai wajar dari pertukaran tersebut.
Uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna, tetapi dapat merefleksikan semua warna. Apabila fungsi dari uang itu sendiri telah berubah dari esensi dasarnya, akan mengakibatkan terjadinya inflasi dan deflasi.
Kendati demikian, emas pada awalnya memang bukanlah alat tukar dari bangsa Arab. Transaksi ekonomi bangsa Arab sebelum mengenal dan menggunakan emas adalah barter. Emas, dalam konteks ini dinar dan dirham, merupakan mata uang miliki bangsa Romawi dan Persia.
Kata dinar sendiri berasal dari bahasa Romawi, yakni denarius, sedangkan dirham berasal dari bahasa Persia, yakni drachma. Beredarnya dirham dan dinar di Jazirah Arab dibawa oleh para pedagang Arab yang berdagang di Syam (di bawah pengaruh Romawi) dan Yaman (di bawah pengaruh Persia).
Sebelumnya, bangsa Arab berdagang secara barter dan tidak pernah memproduksi mata uang sendiri. Akhirnya, bangsa Arab pun mengadopsi dinar dan dirham sebagai sistem mata uang mereka.
Balada Raja Kodok dan Para Kecebong
PADA SENJA di musim kemarau yang masih sering hujan, si Raja Kodok meloncat keatas batu, “Teot te blung, teot te blung” memberikan instruksi, perintah dan arahan-arahan kepada aparatur pemerintahan dan seisi belantara rakyat hewan hutan Wanamarta. “Teot te blung, teot te blung” bersahutan kodok-kodok lelompatan bukan karena komando si Raja Kodok, namun lebih karena melampiaskan kesenangan masing-masing. Hutan Wanamarta pada saat itu belum terjamah manusia. Setelah lengsernya Raja Singa, supermasi Hukum Rimba diterapkan di Wanamarta. Beberapa kali berganti raja, hingga akhirnya terpilih si Raja Kodok yang begitu adanya. Merasa berkuasa namun sebenarnya tanpa daya, mendengar tapi tidak mendengarkan, melihat namun tak memperhatikan, dan perkataannya sebatas suara “Teot te blung”. Namun si Raja Kodok pada saat itu memang paling sesuai dengan keinginan masyarakat hewan hutan Wanamarta.
Tegaknya Hukum Rimba Wanamarta selalu digembar-gemborkan sebagai prestasi dari si Raja Kodok. Masyarakat kecebong, berudu, katak dan kodok terus-menerus membanggakan dan mengeluk-elukan ‘kepemimpinan teot te blung’ dari si Raja Kodok. Mereka beranggapan bahwa perubahan dan pembangunan besar-besaran yang terjadi di Hutan Wanamarta hanya karena “Teot te blung” dari si Raja Kodok. Padi menguning, “Teot te blung”. Telur ayam menetas, “Teot te blung”. Jaguar bebaskan kelinci yang ditawan anjing, “Teot te blung”. Hujan di musim kemarau, “Teot te blung”. Ular semakin rajin tangkap tangan tikus, “Teot te blung”. Buaya menyergap kancil, “Teot te blung”. Kepercayaan masyarakat kodok terhadap si Raja Kodok semakin menguat, dan kaum muda kecebong terus berlomba-lomba mendukung segala kebijakan “Teot te blung” dan mereka selalu teinspirasi oleh si Raja Kodok.
Masyarakat kecebong para pendukung Kodok tidak peduli dan tidak mau tahu bahwa yang sebenarnya terjadi adalah Hukum Rimba yang akan tetap berlangsung meski bukan Kodok yang memimpin hutan. Kecebong-kecebong tahunya hanya berusaha berenang kesana-kemari untuk mendapatkan perolehan suara “Teot te blung”. Kecebong-kecebong akan siap mati-matian mendukung kodok, dan pada gilirannya mereka akan menjadi kodok-kodok berikutnya. Padahal kodok-kodok tidak berdaya apa-apa dalam konstelasi perpolitikan Hutan Wanamarta. Kodok tidak berdaya sama sekali ketika kawanan serigala mengimpor sapi-sapi dari luar negeri. Kodok tidak mampu mengendalikan pimpinan daerah anjing, kucing, kambing, kerbau dan sapi apalagi ular dan buaya. Kodok dijadikan Raja hanya semata-mata supaya Hak Asasi Hewan dapat terus menjadi dasar aktifitas masyarakat hutan Wanamarta. Setelah lengsernya sang Raja Singa, masyarakat Wanamarta memilih untuk menerapkan Demokrasi Hukum Rimba, dengan begitu siapapun pemimpinnya sama saja.
Selasa, 26 September 2017
The Scary Khilafah
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Esai, Khasanah, 5 Agustus 2017
Kenapa dunia begitu ketakutan kepada Khilafah? Yang salah visi Khilafahnya ataukah yang menyampaikan Khilafah kepada dunia? Sejak 2-3 abad yang lalu para pemimpin dunia bersepakat untuk memastikan jangan pernah Kaum Muslimin dibiarkan bersatu, agar dunia tidak dikuasai oleh Khilafah.
Maka pekerjaan utama sejarah dunia adalah: dengan segala cara memecah belah Kaum Muslimin. Kemudian, melalui pendidikan, media dan uang, membuat Ummat Islam tidak percaya kepada Khilafah, AlQur`an dan Islam. Puncak sukses peradaban dunia adalah kalau Kaum Muslimin, dengan hati dan pikirannya, sudah memusuhi Khilafah. Hari ini di mata dunia, bahkan di pandangan banyak Kaum Muslimin sendiri: Khilafah lebih terkutuk dan mengerikan dibanding Komunisme dan Terorisme. Bahkan kepada setan dan iblis, manusia tidak setakut kepada Khilafah.
Perkenankan saya mundur dua langkah dan mencekung ke spektrum kecil. Juga maaf-maaf saya menulis lagi tentang Khilafah. Ini tahadduts binni’mah, berbagi kenikmatan. Banyak hal yang membuat saya panèn hikmah, pengetahuan, ilmu dan berkah. Misalnya saya tidak tega kepada teman-teman yang mengalami defisit masa depan karena kalap dan menghardik dan mengutuk-ngutuk tanpa kelengkapan pengetahuan. Sementara saya yang memetik laba ilmu dan berkahnya.
Ummat manusia sudah berabad-abad melakukan penelitian atas alam dan kehidupan. Maka mereka takjub dan mengucapkan “Robbana ma kholaqta hadza bathila”. Wahai Maha Pengasuh, seungguh tidak sia-sia Engkau menciptakan semua ini. Bahkan teletong Sapi, menjadi pupuk. Sampah-sampah alam menjadi rabuk. Timbunan batu-batu menjadi mutiara. Penjajahan melahirkan kemerdekaan. Kejatuhan menghasilkan kebangkitan. Penderitaan memberi pelajaran tentang kebahagiaan.
Saya juga tidak tega kepada teman-teman yang anti-Khilafah. Tidak tega mensimulasikan nasibnya di depan Tuhan. Sebab mereka menentang konsep paling mendasar yang membuat-Nya menciptakan manusia. Komponen penyaringnya dol: anti HTI berarti anti Khilafah. Lantas menyembunyikan pengetahuan bahwa anti Khilafah adalah anti Tuhan. “Inni ja’ilun fil ardli khalifah”. Sesungguhnya aku mengangkat Khalifah di bumi. Ketika menginformasikan kepada para staf-Nya tentang makhluk yang Ia ciptakan sesudah Malaikat, jagat raya, Jin dan Banujan, yang kemudian Ia lantik – Tuhan tidak menyebutnya dengan “Adam” atau “Manusia”, “Insan”, “Nas” atau “makhluk hibrida baru”, melainkan langsung menyebutnya Khalifah. Bukan sekadar “Isim” tapi juga langsung “Af’al”.
Konsep Khilafah dengan pelaku Khalifah adalah bagian dari desain Tuhan atas kehidupan manusia di alam semesta. Adalah skrip-Nya, visi missi-Nya, Garis Besar Haluan Kehendak-Nya. Khilafah adalah UUD-nya Allah swt. Para Wali membumikannya dengan mendendangkan: di alam semesta atau al’alamin yang harus dirahmatkan oleh Khilafah manusia, adalah “tandure wis sumilir, tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar”. Tugas Khalifah adalah “pènèkno blimbing kuwi”. Etos kerja, amal saleh, daya juang upayakan tidak mencekung ke bawah: “lunyu-lunyu yo penekno”. Selicin apapun jalanan di zaman ini, terus panjatlah, terus memanjatlah, untuk memetik “blimbing” yang bergigir lima.
Khilafah adalah desain Tuhan agar manusia mencapai “keadilan sosial”, “gemah ripah loh jinawi”, “rahmatan lil’alamin” atau “baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghofur”. Apanya yang ditakutkan? Apalagi Ummat Islam sudah terpecah belah mempertengkarkan hukum kenduri dan ziarah kubur, celana congklang dan musik haram, atau Masjid jadi ajang kudeta untuk boleh tidaknya tahlilan dan shalawatan. Mungkin butuh satu milenium untuk mulai takut kepada “masuklah ke dalam Islam sepenuh-penuhnya dan bersama-sama”. Itu pun sebenarnya tidak menakutkan. Apalagi dunia sekarang justru diayomi oleh “udkhulu fis-silmi kaffah”: masuklah ke dalam Silmi sejauh kemampuanmu untuk mempersatukan dan membersamakan.
Hari-hari ini jangan terlalu tegang menghadapi Kaum Muslimin. Kenduri yang dipertentangkan adalah kenduri wèwèh ambengan antar tetangga, bukan kenduri pasokan dana nasional. Toh juga dengan pemahaman ilmu yang tanpa anatomi, banyak teman mengidentikkan dan mempersempit urusan Khilafah dengan Hizbut Tahrir. HTI sendiri kurang hati-hati mewacanakan Khilafah sehingga dunia dan Indonesia tahunya Khilafah adalah HTI, bukan Muhammadiyah atau lainnya. Padahal HT maupun HTI bukan penggagas Khilafah, bukan pemilik Khilafah dan bukan satu-satunya kelompok di antara ummat manusia yang secara spesifik ditugasi oleh Allah untuk menjadi Khalifah.
Setiap manusia dilantik menjadi Khalifah oleh Allah. Saya tidak bisa menyalahkan atau membantah Allah, karena kebetulan bukan saya yang menciptakan gunung, sungai, laut, udara, tata surya, galaksi-galaksi. Bahkan saya tidak bisa menyuruh jantung saya berdetak atau stop. Saya tidak mampu membangunkan diri saya sendiri dari tidur. Saya tidak sanggup memuaikan sel-sel tubuh saya, menjadwal buang air besar hari ini jam sekian, menit kesekian, detik kesekian. Bahkan cinta di dalam kalbu saya nongol dan menggelembung begitu saja, sampai seluruh alam semesta dipeluknya — tanpa saya pernah memprogramnya.
Jadi ketika Tuhan bilang “Jadilah Pengelola Bumi”, saya tidak punya pilihan lain. Saya hanya karyawan-Nya. Allah Big Boss saya. Meskipun dia kasih aturan dasar “fa man sya`a falyu`min, wa man sya`a falyakfur”, yang beriman berimanlah, yang ingkar ingkarlah – saya tidak mau kehilangan perhitungan. Kalau saya menolak regulasi Boss, saya mau kerja di mana, mau kos di mana, mau pakai kendaraan apa, mau bernapas dengan udara milik siapa. Apalagi kalau saya tidur dengan istri, Tuhan yang berkuasa membuatnya hamil. Bukan saya. Saya cuma numpang enak sebentar.
Hal-hal seperti itu belum cukup mendalam dan rasional menjadi kesadaran individual maupun kolektif Kaum Muslimin. Jadi, wahai dunia, apa yang kau takutkan dari Khilafah? Andaikan Khilafah terwujud, kalian akan diayomi oleh rahmatan lil’alamin. Andaikan ia belum terwujud, sampai hari ini fakta di muka bumi belum dan bukan Khilafah, melainkan masih Kaum Muslimin. Bahkan di pusatnya sana Islam tidak sama dengan Arab. Arab tidak sama dengan Saudi. Saudi tidak sama dengan Quraisy. Quraisy tidak sama dengan Badwy. Apa yang kau takutkan? Wahai dunia, jangan ganggu kemenanganmu dengan rasa takut kepada fatamorgana.
Ahok dan Sikap Antikebinekaan
Republika Online | Saturday, 04 February 2017 | 09:58 WIB
Oleh: Wartawan Republika, Arif Supriyono
Empat bulan sudah berlalu. Sejak ucapan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 tentang surah al-Maidah ayat 51 -yang kemudian dinyatakan sebagai penistaan agama Islam oleh Majelis Ulama Indonesia- hingga kini kegaduhan itu tak jua surut.
Desakan umat melalui beberapa kali demonstrasi agar Ahok dijadikan tersangka akhirnya terpenuhi. Tepat 51 hari setelah Ahok membahas al-Maidah 51 dan mengaitkannya dengan pilih-memilih dalam Pilkada DKI Jakarta, sang gubernur pengganti itu ditetapkan oleh Mabes Polri sebagai tersangka penistaan agama.
Ya, kegaduhan itu memang bermula dari acara di Kepulauan Seribu. Saat itu sedang ada acara kerja sama Pemprov DKI dengan Sekolah Tinggi Perikanan dan sekaligus penyerahan bantuan 4.000 benih ikan kerapu. Meski kala itu belum masa kampanye dan sang gubernur pun memakai seragam dinas, dengan enteng dia membahas soal pilih-memilih. Walau itu bukan acara keagamaan dan dia pun bukan pemeluk Islam, tanpa ragu Ahok membahas al-Maidah 51 di hadapan massa yang mayoritas Muslim.
Masyarakat kemudian bergolak. Atas saran berbagai pihak, Ahok sempat menyampaikan permintaan maaf. Lalu lebih 500 ribu massa melakukan unjuk rasa pada 4 November 2016. Ahok bukannya mencoba mendinginkan suasana akan tetapi justru kembali menyulut bara api permusuhan.
Seolah tak ingat lagi dengan pemintaan maafnya, Ahok menuding itu sebagai demonstrasi bayaran. Masing-masing peserta unjuk rasa dia tuduh menerima Rp 500 ribu. Tuduhan yang sama sekali tak menggunakan nalar. Rasanya tidak mungkin membuang Rp 250 miliar hanya untuk sekali demo.
Desakan masyarakat kian menguat. Demo lebih besar yang damai dan indah dengan melibatkan lebih 2,5 juta manusia pun digelar pada 2 Desember 2016 (aksi damai 212) dan dipusatkan di Monas, Jakarta. Tak sedikit peserta unjuk rasa yang berasal dari luar Jawa: Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Barat.
Entah karena desakan massa tersebut atau karena hal lain, polisi kemudian menyerahkan berkas pemeriksaan Ahok ke kejaksaan. Persidangan pertama terhadap politikus yang telah empat kali pindah partai politik ini pun dilaksanakan pada 13 Desember 2016. Di sela-sela persidangan, ada drama yang seolah menyentuh rasa kemanusiaan. Di sebuah ruang, Ahok dipeluk seorang wanita yang disebut-sebut sebagai kakak angkatnya (yang selama ini memang mendukung Ahok sebagai cagub) dengan mimik memelas yang disertai tangisan. Ahok pun ikut menangis.
Mungkin adegan yang disebar di lini masa itu dimaksudkan agar masyarakat bersimpati kepada Ahok. Dalam banyak kesempatan Ahok juga mengungkapkan niatnya untuk mengubah sikap dengan bertutur kata lebih santun dan beradab. Terlihat beberapa kali nada bicara dan cara bersikap Ahok memang sedikit berubah.
Namun, itu tak bertahan lama. Karakter aslinya kembali muncul dan itu akan sulit berubah. Dalam persidangan kedelapan, Ahok menghardik saksi KH Ma’ruf Amin yang juga ketua umum MUI Pusat. Ahok menuding Ma’ruf Amin berbohong. Ini karena KH Ma’ruf Amin menjawab tidak tahu saat ditanya pengacara Ahok, apakah SBY pernah menelepon dan minta dibuatkan fatwa/pandangan MUI soal ucapan Ahok.
Sang penista itu lalu mengancam akan menuntut KH Maruf Amin -yang juga rais aam (ketua umum) PB Nahdlatul Ulama- karena telah berbohong. Sehari kemudian, SBY mengaku pernah bicara lewat telepon dengan KH Ma’ruf Amin namun tak minta dibuatkan fatwa tersebut, akan tetapi sekadar mohon restu atas pencalonan Agus Harimurti Yudhoyono sebagai gubernur.
Saya tak membahas soal kemarahan umat Islam dan warga Nahdliyin atas kekasaran Ahok kepada ulama yang jadi panutan umat tersebut. Justru saya ingin menyoroti sikap dan karakter buruk Ahok.
Menurut pandangan saya, kegaduhan belakangan ini adalah murni karena sikap Ahok. Andai Ahok yang nonmuslim itu tak latah dan ceroboh mengungkit-ungkit ayat dalam kitab suci umat Islam, energi bangsa tak akan terkuras selama berbulan-bulan hanya untuk menyelesaikan kasusnya. Sadar atau tidak, penilaian Ahok atas surah al-Maidah 51 itu berpotensi memecah belah umat.
Dengan merendahkan dan menyerang kehormatan KH Ma’ruf Amin, Ahok secara demonstratif telah menjadi pelopor untuk menurunkan wibawa ulama di mata masyarakat. Tentu secara pribadi, Ahok juga tak menghargai ulama sepuh NU tersebut. Kalau ini dibiarkan dan dijadikan contoh bagi masyarakat lainnya, ulama tak akan lagi punya harga diri di mata khalayak. Pada gilirannya, masyarakat akan bisa kian dijauhkan dari kehidupan dan nilai-nilai keberagamaan.
Ahok pun sempat mengatakan pada KH Ma’ruf Amin, ”Kalau Anda menzalimi saya, Anda lawan adalah Tuhan Yang Maha Kuasa dan akan saya buktikan satu per satu, dipermalukan nanti”. Itu ucapan yang sangat arogan. Bahkan dalam penilaian saya, itu jelas-jelas bentuk kepongahan yang melebihi kuasa Tuhan.
Bagaimana tidak pongah? Pada ulama sepuh yang sarat ilmu pun dia berceramah dan berujar bahwa tindakan sang kiai itu sebagai melawan Tuhan. Dia juga yakin, bahwa sang sesepuh NU itu akan dipermalukan.
Bukti lain adanya upaya Ahok untuk memecah belah umat bisa dilihat dari permintaan maafnya kepada KH Ma’ruf Amin. Ahok sempat mengucapkan, ”Bagaimana mungkin saya bisa berseberangan dengan NU yang jelas-jelas menjaga kebinekaan dan nasionalis seperti ini”.
Pernyataan itu sangat tendensius dan amat membahayakan. Itu merupakan bentuk provokasi dan upaya dia untuk memisahkan (bahkan mengadu domba) antara warga Nahdliyin dan umat Islam dari kalangan lain. Ini tidak pantas diucapkan oleh seorang pemimpin. Sebagai umat Islam, saya berhak untuk marah atas ucapan provokatif Ahok ini.
Peran dan tugas pemimpin adalah menjaga persatuan dan kebersamaan. Keberagaman tak mungkin bisa diseragamkan. Namun, keberagaman bisa dijaga untuk menuju persatuan dan kebersamaan. Nilai persatuan dan kebersamaan itu jauh lebih mahal daripada sekadar hasil fisik pembangunan. Seorang pemimpin yang punya tendensi memecah belah umat dan antikeberagaman, sejatinya sudah tak lagi pantas menduduki kursi pemimpin.
Itu juga berarti, jiwa kepemimpinannya sudah hilang dan yang tersisa cuma arogansi serta ambisi untuk senantiasa berkuasa, tanpa pernah memandang dan memiliki rasa hormat kepada sesama. Dia hanya mencitrakan diri bersih, akan tetapi menggunakan segala cara untuk terus berkuasa.
Lihat kasus RS Sumber Waras, pembelian lahan Rp 634 miliar yang ternyata milik Pemprov DKI sendiri, soal reklamasi, dan penggusuran yang mengabaikan rasa keadilan. Ahok tidak menghapus kemiskinan akan tetapi sekadar mengusir masyarakat miskin.
Masyarakat tentu tak butuh pemimpin model demikian. Justru pemimpin seperti inilah yang sangat mungkin akan membahayakan masa depan bangsa yang berbineka. Keberagaman dan kebersamaan akan berpotensi robek, tercabik-cabik, dan terpecah belah karena sikap pemimpin yang sengaja memainkan kendali kuasa dengan mengadu domba. Antaragama dan sesama agama pun diadu domba.
Jauh lebih berharga memelihara dan merawat kebinekaan dan kebersamaan daripada mempertahankan Ahok. Kelangsungan harmoni kehidupan sosial akan berbahaya bila ia terus duduk di singgasana kuasa. Namun, semua kembali dan terserah pada nurani serta akal sehat masyarakat.
Al Maidah 51 Membelit Ahok
Berkahe Mayoritas
Saya hanya ingin mengatakan bahwa, Salah satu berkahnya Islam menjadi Mayoritas di Indonesia adalah: separah apa pun pemerintahnya, tidak ak...
-
Telah Lahir Generasi Baru ('Revolusi' Putih- 2) Oleh: Nasihin Masha Kolom Resonansi. Republika Online | Jumat, 25 Novem...