Kamis, 15 September 2022

Berkahe Mayoritas

Saya hanya ingin mengatakan bahwa,
Salah satu berkahnya Islam menjadi Mayoritas di Indonesia adalah: separah apa pun pemerintahnya, tidak akan berani berbeda dengan kehendak Mayoritas rakyatnya. Ini berlaku pula dalam hal dukungan kepada Palestina. 

Konferensi Asia Afrika dan Pembukaan UUD 1945 adalah Bentengnya. Mayoritas Rakyat Indonesia adalah Penjaganya.

Kalau pun ada yang berani berbeda, paling-paling hanya segelintir bolo-bolonya yang mimpi di siang bolong karena kebodohannya. 

Maka dari itu mari kita jaga kondisi mayoritas ini selama-lamanya.

Eling-eling dawuhe Gus Baha, 
"Hendaklah kalian bersama jumlah yang besar, siapa pecah darinya maka akan celaka". 
"Kadang Pertarungan itu sulit dimenangkan dengan Hujjah tetapi akan mudah dengan Jumlah".
#FreePalestine

Depok, 15 Mei 2021

Kebahagiaan itu ada di Pinggir Jalan

Karena agak kesiangan saya berangkat terburu-buru. Di tengah perjalanan baru ingat kalau tidak bawa masker. Di pinggir jalan ada pedagang kaki lima jualan masker dan lain-lain. Mampirlah saya sebentar untuk beli masker. Karena tahu di rumah masih banyak, saya beli 1 bungkus saja, isinya 2 seharga Rp 5000. Ketika saya serahkan uang, sang penjual menerimanya dengan membungkukkan badan sambil mengucapkan "terima kasih ya pak". Saya tengok di wajahnya tersungging senyuman bahagia, sangat sumringah. Cling ! Seperti ada cahaya bersinar terang menyanbar wajah saya. Takjub saya, Sumpah deh...

Masya Allah...lima ribu doang Bro....dia nerimanya udah kayak dapet duit Jutaan. Gue kadang terima duit 3 juta sikap gue biasa aja. Gue jadi malu sendiri. Besok-besok kalau masker gue habis, gue bakal belinya di pinggir jalan aja. Gile aje, cuma modal lima ribu Lo bisa bikin orang lain bahagia ampe segitunya !!

Depok, 20 Mei 2022

Gado gado itu bernama Indonesia

Selamat memperingati Hari Ulang Tahun Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ke-77. Sebuah negara baru yang lahir pada 17 Agustus 1945 yang silam yang didirikan oleh sebuah Bangsa baru juga yang bernama Bangsa Indonesia. Meskipun bentuk negara (kesatuan) dan bentuk pemerintahannya (republik) mengambil contoh dari negara lain (barat), bukan meneruskan negara pendahulu kita, apa boleh buat, pada kenyataannya para pucuk pimpinan bangsa Indonesia saat itu memang sebagian besar berpendidikan barat (Belanda). Sehingga wajar jika itu yang ada di pikiran mereka.

Sebelumnya pada 27-28 Oktober 1928 telah lahir Bangsa Indonesia. Sebuah Bangsa Baru yang dibentuk dari berbagai Bangsa yang sudah lama ada dan eksis di Nusantara ini. Komponen terbesarnya adalah Bangsa Jawa ditambah bangsa-bangsa besar lainnya yakni bangsa Sunda, Melayu, Minang, Aceh, Batak, Bugis, Makassar, Dayak, Timur dan bangsa-bangsa lain yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Saya memang lebih suka menyebut bangsa dari pada suku, karena ada penyempitan makna seolah-olah suku lebih kecil daripada bangsa. Padahal ya sama saja, suku itu sama dengan bangsa. Bagi saya Indonesia adalah PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang sesungguhnya. Bangsa Jawa tidak punya hak Veto, bangsa Minang juga tidak punya. Padahal kedua proklamator berasal dari 2 bangsa ini lho. Justru yang ada adalah "mengalah". Bangsa Jawa ngalah bahasa persatuan yang dipakai adalah bahasa Melayu, bukan bahasa Jawa. Saya tidak tahu apakah ada yang seperti ini di negara lain. Dan supaya sama sama enak disebutlah bahasa persatuan itu sebagai Bahasa Indonesia, tidak bahasa melayu. Keren kan. Ini namanya kompromi. Inilah salah satu kehebatan Bangsa Besar Indonesia, bisa "mengalah" dan "kompromi". Kok disebut Bangsa Besar? Ya iya dong kan dibentuk dari berbagai bangsa. Kalau hari ini kita lebih suka gontok-gontokan dari pada kompromi, rasanya perlu belajar lagi kepada sejarah deh. Lebih keren lagi adalah bahasa masing-masing bangsa tetap digunakan sehingga hampir semua bangsa menguasai dua bahasa, yaitu bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Alhamdulillah saya sebagai bangsa Jawa masih bisa bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Jadi kalau anda hanya bisa bahasa Indonesia, belajar lagi deh bahasa daerahnya. Jangan sampai hilang he..he.. Kalau saya tidak bahasa Inggris saya nggak malu-malu amat, toh statusnya adalah bahasa asing. Tapi kalau nggak bisa bahasa Jawa, waduh gawat. Itulah salah satu niat tersembunyi saya menyekolahkan anak saya di Pekalongan, biar anak saya bisa bahasa Jawa, karena di rumah terlanjur percakapan bahasa sehari-hari pakai bahasa Indonesia.

Jadi ingatlah bahwa kita adalah bangsa yang lebih besar yang dibentuk dari bangsa-bangsa besar. Tapi jati diri setiap bangsa tetap harus ada. Karena Gado-gado itu dicampur bukan diblender. Lontongnya tetap ada, tahunya tetap ada, togenya tetap ada, sayurannya tetap ada, dan kerupuknya juga tetap ada. Jadi kalau ada logo halal kayak Gunungan wayang itu bukan jawanisasi ya bro. Uang logam ada emboss Istana Pagaruyung, itu bukan minangisasi ya sis. Karena bahasa Indonesia diambil dari bahasa Melayu itu bukan melayunisasi. Selamat merayakan hari ulang tahun Indonesia.

Depok, 17 Agustus 2022

Kalau ini kalau itu

BBM naik, rakyat ada yang menjerit ada juga yang tidak. Ada yang protes ada juga yang mencela rakyat yang protes 🤣. 

Kalau dipikir-pikir harga BBM memang tidak "ekonomi". Jadi kalau dinaikkan ya wajar juga. 
Tapi kalau nggak dinaikkan juga sangat wajar. Karena salah satu tugas negara ya menyejahterakan rakyatnya. Lebih wajar lagi kalau melihat masih ada banyak pemborosan di bidang lain yang mungkin "sebenarnya" bisa dihemat tapi entah kenapa seperti "dibikin" boros. Pernah kan foto KTP atau SIM. Coba deh lihat kameranya. Harganya berapa itu. Tapi coba lihat foto yang tercetak di kartu. Waduh...hasil kamera web yang murah meriah kayaknya masih lebih bagus deh. Ketinggian spek-nya nggak sih 🫢
Nah ada berapakah jumlah kelurahan dan samsat di seluruh Indonesia?
Itu baru kamera ya. Belum PC, Laptop dan lain-lain dan sebagainya dan seterusnya di seluruh instansi milik negara di seluruh Indonesia yang mungkin Spek nya juga ketinggian. Kira-kira kalau ditukar dengan subsidi BBM pantas nggak ya.

Tapi ya itu kalau mau sedikit repot hitung sana hitung sini. Karena pasti ngitungnya susah karena banyak "item" yang harus dihitung. Lebih mudah menghitung harga BBM dari pada menghitung ulang item ini dan item itu. Ribet. 
Eeeehh... tapi kan pejabat-pejabat itu pinter-pinter. Sekolahnya kan tinggi tinggi. Ada yang tinggi aja ada yang tinggi sekali. Masak sih nggak bisa. Wah jangan meremehkan kemampuan putra putri Bangsa terbaik lho ya 🤣.

Jadi kalau...
Ah sudahlah....terserah dia dan mereka sajalah... mumet 🤣🤣

Depok, 14 September 2022

Kamis, 02 Mei 2019

Jati Diri Bangsa Indonesia (Melayu/Jawa) - Prolog

Di antara bangsa-bangsa besar (kuat) yang menerima hidayah Islam, tinggal bangsa kita, bangsa Melayu, atau disebut juga bangsa Jawa atau Jawi yang belum diberikan anugerah oleh Allah untuk memimpin Dunia.

Kelak bangsa kita akan menaklukkan Roma yang belum sempat diselesaikan oleh Muhammad Al Fatih dari Kekhalifahan Utsmani, dan akan menguasai dunia tetapi tidak menjajah melainkan menjadi pengayom, Hamengku Buwono, memangku dunia.

Insyaa Allah.

Senin, 31 Desember 2018

Anies Ditekan, Anies Melawan

By Tony Rosyid
Pengamat Politik (Direktur Graha Insan Cendikia dan Ketua FASS Jabodetabek)

Dimanapun negara, pasti berat bila berseberangan dengan penguasa dan taipan. Berani dikit, posisi bisa dilengserkan. Apalagi kalau salah kelola anggaran, atau main perempuan. Tak jarang ada yang dibiarkan jadi "sandera" atau malah "tahanan". Kadang-kadang tanpa proses persidangan. Alasannya: makar dan negara terancam. "Klise". Apalagi kalau bawa-bawa istilah anti pancasila dan anti kebhinekaan, makin sempurnalah sebuah tuduhan.

Ketua-ketua partai dan para pimpinan daerah seringkali tak luput dari bidikan. Sikap represif ini ada sejak zaman Orla, Orba, dan sampai sekarang secara turun temurun diwariskan. Hanya beda kadar dan ukuran. Ada yang sembunyi-sembunyi dengan beragam kemasan, ada pula yang terang-terangan. Malah ada yang cenderung dipertontonkan.

Apakah tindakan represif ini juga dirasakan Gubernur dan Wagub DKI, Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Shalahudin Uno?

Kabar yang banyak beredar, Anies juga sering jadi target dan pernah ditekan. Anies takut? Semula memang banyak pihak meragukan. Anies dianggap tak punya ketegasan, apalagi berada di bawah ancaman. Lelaki yang dibesarkan di Jogja dengan tata krama dan sopan santun ala Jawa ini tak punya wajah garang. Dibanding gubernur sebelumnya, tentu kalah seram. Vokal suaranya tak lantang. Lebih nampak sebagai pemikir yang mengumbar senyuman.

Setelah Anies tutup Alexis, masyarakat mulai bimbang: punya nyali juga rupanya. Tidak disangka, sikap pendiam rupanya menghanyutkan. Sampai disini Anies mulai melakukan pembuktian. Orang belum yakin sepenuhnya. Publik pun menunjukkan,  di luar Alexis, ada Alexis-Alexis lain yang harus diburu dan dibekukan. Publik berharap Anies-Sandi bisa membuktikannya lagi. Jika tidak, maka publik akan bilang: itu cuma pencitraan.

Memang, sebagian orang masih bilang: itu pencitraan. Terutama mereka yang belum bisa "move on" dari kekalahan. Ini biasa, wajar dan harus dimaklumi. Dalam politik ada luka. Tidak setiap luka bisa cepat untuk disembuhkan. Apalagi, setiap orang juga berbeda dalam membuat ukuran kepercayaan. Mereka mesti dirangkul dan diberi pengertian.

Ditengah keraguan sebagian orang, Anies kembali membuat kejutaan. Kali ini, giliran lahan R.S. Sumber Waras. BPK mencatat, transaksi pembelian lahan ini terbukti merugikan. Negara kehilangan 191,33 milyar. Lumayan besar. Sempat Ahok dan sejumlah orang dipanggil KPK. Habis itu, kasus seolah dilupakan. Jejaknya lenyap dari berita media. Publik sempat curiga: ada kekuatan yang sedang mengendalikan. BPK tidak mungkin salah.

KPK berdalih: tak ada niat jahat di kasus ini. Publik makin curiga. Bagaimana tidak ada niat jahat, sementara pembayaran dilakukan secara cash. Ratusan milyar cash?  Aneh! Ada suatu keganjilan. Gegara kasus ini, Kredibiltas KPK mulai dipertanyakan. Masyarakat bilang: KPK masuk perangkap permainan.

Untuk efektifitas pencegahan dan pemberantasan korupsi, Anies membentuk KPK sendiri, KPK DKI. Hanya mirip fungsi dengan KPK yang sudah ada, tapi beda wewenang. Bersama KPK DKI yang baru ini, Anies minta Wagub menuntaskan kasus jual beli lahan Sumber Waras. Harus tetap diusut dan dituntaskan. Bambang Widjajanto, mantan wakil ketua KPK, dan Ogoeseno, bekas wakapolri ini bersama timnya mendapat tugas untuk mendampingi. Dengan melibatkan tim hukum ini, Anies nampak punya keseriusan dalam menangani permasalah korupsi di DKI.

Pihak Sumber Waras diberi dua pilihan: kembalikan 191,33 milyar ke negara, atau jual beli dibatalkan. Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) sebagai penjual lahan berdalih: tak ada dasar untuk mengembalikan. Jika demikian, opsinya adalah pembatalan.

Veronica Tan, istri Ahok yang diduga terlibat keburu mau diceraikan. Adakah hubungannya? Ahli hukum Djoko Edy Abdurrahman, wasek LPBH PBNU sudah mulai mengkait-kaitkan. Tulisannya yang viral di medsos (jika benar) berupaya membuat logika kausalitasnya. Sangat "tidak etis" dibicarakan jika memang tidak ada kaitan. Tapi, posisi Veronika Tan adalah ketua Yayasan Kanker Indonesia Wilayah DKI saat itu. Oleh KPK dianggap ikut terlibat dalam proses jual beli lahan R.S Sumber Waras. Faktor ini yang mendorong orang lalu mengkait-kaitkan.

Kasus Sumber Waras sedang dalam proses untuk diselesaikan, Anies lagi-lagi membuat kebijakan mengagetkan: Hak Guna Bangunan (HGB) pulau reklamasi dibatalkan. Semua surat pengajuan ke BPN ditarik kembali. Segala bentuk pembangunan dan kegiatan apapun harus dihentikan. Apa dasarnya? Prosedur penerbitan HGB telah menabrak banyak aturan. Perda belum jadi, HGB sudah diterbitkan. Khususnya pulau D, HGB terbit sehari setelah pengukuran. Pulau seluas 483,6 ha diukur tanggal 23 agustus 2017, tanggal 24 sudah diterbitkan. Ini sungguh keterlaluan.

Pembatalan HGB berlaku untuk semua pulau B,C,D dan G. Publik tak menyangka Anies berani melakukan itu. Gila! Dengan begitu Anies mesti siap-siap berhadapan dengan sejumlah taipan, termasuk Aguan.

Di mata publik, keberanian ini memberi kredit poin kepada gubernur dan wagub baru ini. Pasalnya, nyali ini dibuktikan berani berhadapan dengan taipan yang selama ini dicurigai menjadi bohir  dibalik kekuasaan. Saat LBP dikonfirmasi media, ia menjawab: itu hak gubernur Jakarta. Luhut tak segarang sebelumnya.

Dirunut dari sejarah awalnya, reklamasi adalah proyek lama. Pergub pertama dibuat oleh gubernur Jokowi. Lalu dimulai pembangunan saat Ahok jadi gubernur menggantikan Jokowi. Banyak protes, tapi tak digubris. Tangan-tangan kekuasaan diduga "back up" di belakang.

Saat Rizal Ramli diangkat jadi menko maritim, moratorium dibuat. Kesimpulannya: banyak masalah dan berdampak besar jika reklamasi diteruskan. Tak lama kemudian, sang menteri dipecat dan diganti Luhut Binsar Panjaitan. Lalu, moratorium dibatalkan. Dengan bersemangat menko maritim yang baru ini bilang: reklamasi dilanjutkan.

Beberapa hari sebelum Anies-Sandi dilantik, rancangan perda reklamasi sudah diajukan ke DPRD. Saat itu, Djarot Saiful Hidayat gubernurnya. Salah seorang menteri pun kabarnya memanggil Sandiaga Uno dan memberi ancaman. Sang menteri akan mencari-cari kesalahan jika Sandi berani hentikan reklamasi. Sandi gentar? Rupanya tidak.

Belum sempat perda reklamasi itu disahkan, Anies-Sandi buru-buru menghentikan. Keputusan diambil tak lama setelah pelantikan. Ancaman diabaikan. Sang menteri tak berkutik dan diam. Memang, proses ini cukup dramatis dan menegangkan.

Sampai disini, rasanya tidak bijak jika ada yang masih menyebut pencitraan. Beda pembuktian dengan pencitraan. Pencitraan itu cirinya:
*pertama,* ada kesan dibuat-buat dan penuh kepura-puraan. Yang terlihat berbeda dari yang sebenarnya. Tak sama antara panggung depan dengan panggung belakang. Berita media jauh beda dengan kenyataan.

*Kedua,* ujung-ujungnya tidak ada pembuktian. Karena itu bukan program, tapi branding dan jualan. Hanya sekedar untuk iklan dan magnet mendatangkan pujian. Rakyat mesti peka: mana janji, mana bukti. Ini bisa jadi alat ukur melihat pemimpin dan penguasa.

*Ketiga,* biasanya berkaitan dengan hal-hal kecil, remeh temeh, dan sederhana. Blusukan, cara berpakaian, tampil sederhana untuk iklan kebersahajaan. Atau sekedar marah-marah dan gebrak meja. Semua hal tak penting yang kira-kira bisa jadi magnet perhatian. Itu namanya pencitraan.

Banyak orang tertipu dan jadi korban pemimpin yang hanya sibuk membuat pencitraan. Di media bilang A, di lapangan melakukan B. Saatnya rakyat mesti dicerdaskan. Rasio dan bukti mesti diutamakan. Anies-Sandi punya tugas untuk itu.

Pembatalan reklamasi adalah keputusan berisiko, apalagi sampai adu nyali lawan taipan, bahkan kekuasaan. Hanya "orang gila" yang melakukan ini untuk bermain-main dengan pencitraan.

Rupanya, Anies memang tidak bisa diancam. Semakin ia ditekan, semakin ia melawan. Begitu pula dengan Sandi. Beginilah mestinya keberanian seorang pemimpin, bukan cari pencitraan, tapi sibuk membuktikan. Soal ini, Anies bisa jadi inspirasi dan panutan.

Jakarta, 10/1/2018

Kamis, 11 Januari 2018

Keistimewaan Dinar dan Dirham

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --
Dinar yang menjadi nilai tukar uang umat Islam pada masa lalu memiliki nilai intrinsik berupa emas. Para ahli sejarah pun mencatat adanya alat tukar tersebut membuat nilainya stabil dengan alat tukar lainnya.

Tidak ada istilah atau fenomena inflasi dan deflasi pada masa tersebut. Pada saat ini pun, nilai seekor kambing masih sama dengan ketika masa Rasulullah SAW, yakni berkisar 1 dinar atau Rp 2,2 juta.
Tujuh ratus tahun sebelum Adam Smith menulis buku The Wealth of Nation, seorang ulama bernama Abu Hamid al-Ghazali telah membahas fungsi uang dalam perekonomian. Beliau menjelaskan, fungsi uang adalah sebagai alat untuk melancarkan pertukaran dan menetapkan nilai wajar dari pertukaran tersebut.

Uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna, tetapi dapat merefleksikan semua warna. Apabila fungsi dari uang itu sendiri telah berubah dari esensi dasarnya, akan mengakibatkan terjadinya inflasi dan deflasi.

Kendati demikian, emas pada awalnya memang bukanlah alat tukar dari bangsa Arab. Transaksi ekonomi bangsa Arab sebelum mengenal dan menggunakan emas adalah barter. Emas, dalam konteks ini dinar dan dirham, merupakan mata uang miliki bangsa Romawi dan Persia.
Kata dinar sendiri berasal dari bahasa Romawi, yakni denarius, sedangkan dirham berasal dari bahasa Persia, yakni drachma. Beredarnya dirham dan dinar di Jazirah Arab dibawa oleh para pedagang Arab yang berdagang di Syam (di bawah pengaruh Romawi) dan Yaman (di bawah pengaruh Persia).

Sebelumnya, bangsa Arab berdagang secara barter dan tidak pernah memproduksi mata uang sendiri. Akhirnya, bangsa Arab pun mengadopsi dinar dan dirham sebagai sistem mata uang mereka.

Balada Raja Kodok dan Para Kecebong

Sumber: kenduricinta.com

PADA SENJA di musim kemarau yang masih sering hujan, si Raja Kodok meloncat keatas batu, “Teot te blung, teot te blung” memberikan instruksi, perintah dan arahan-arahan kepada aparatur pemerintahan dan seisi belantara rakyat hewan hutan Wanamarta. “Teot te blung, teot te blung” bersahutan kodok-kodok lelompatan bukan karena komando si Raja Kodok, namun lebih karena melampiaskan kesenangan masing-masing. Hutan Wanamarta pada saat itu belum terjamah manusia. Setelah lengsernya Raja Singa, supermasi Hukum Rimba diterapkan di Wanamarta. Beberapa kali berganti raja, hingga akhirnya terpilih si Raja Kodok yang begitu adanya. Merasa berkuasa namun sebenarnya tanpa daya, mendengar tapi tidak mendengarkan, melihat namun tak memperhatikan, dan perkataannya sebatas suara “Teot te blung”. Namun si Raja Kodok pada saat itu memang paling sesuai dengan keinginan masyarakat hewan hutan Wanamarta.
Tetapi begitulah Si Raja Kodok senantiasa GR, merasa ditaati oleh aparatur dan seluruh rakyatnya. Si Raja Kodok selalu PD pada setiap sidang kabinet dengan instruksi “Teot te blung” kepada menteri-menterinya. Sementara para menteri dari berbagai jenis hewan senantiasa berusaha mengerti dan bebas menginterpretasi arti instruksi “Teot te blung” itu. Staf-staf ahli para menteri yang mayoritas kodok-kodok juga sudah mempersiapkan laporan dan segala sesuatunya dengan “Teot te blung” dari masing masing kementrian. Walhasil keputusan dan kebijakan pemerintah selalu berisikan “Teot te blung”.
Tegaknya Hukum Rimba Wanamarta selalu digembar-gemborkan sebagai prestasi dari si Raja Kodok. Masyarakat kecebong, berudu, katak dan kodok terus-menerus membanggakan dan mengeluk-elukan ‘kepemimpinan teot te blung’ dari si Raja Kodok. Mereka beranggapan bahwa perubahan dan pembangunan besar-besaran yang terjadi di Hutan Wanamarta hanya karena “Teot te blung” dari si Raja Kodok. Padi menguning, “Teot te blung”. Telur ayam menetas, “Teot te blung”. Jaguar bebaskan kelinci yang ditawan anjing, “Teot te blung”. Hujan di musim kemarau, “Teot te blung”. Ular semakin rajin tangkap tangan tikus, “Teot te blung”. Buaya menyergap kancil, “Teot te blung”. Kepercayaan masyarakat kodok terhadap si Raja Kodok semakin menguat, dan kaum muda kecebong terus berlomba-lomba mendukung segala kebijakan “Teot te blung” dan mereka selalu teinspirasi oleh si Raja Kodok.
Masyarakat kecebong para pendukung Kodok tidak peduli dan tidak mau tahu bahwa yang sebenarnya terjadi adalah Hukum Rimba yang akan tetap berlangsung meski bukan Kodok yang memimpin hutan. Kecebong-kecebong tahunya hanya berusaha berenang kesana-kemari untuk mendapatkan perolehan suara “Teot te blung”. Kecebong-kecebong akan siap mati-matian mendukung kodok, dan pada gilirannya mereka akan menjadi kodok-kodok berikutnya. Padahal kodok-kodok tidak berdaya apa-apa dalam konstelasi perpolitikan Hutan Wanamarta. Kodok tidak berdaya sama sekali ketika kawanan serigala mengimpor sapi-sapi dari luar negeri. Kodok tidak mampu mengendalikan pimpinan daerah anjing, kucing, kambing, kerbau dan sapi apalagi ular dan buaya. Kodok dijadikan Raja hanya semata-mata supaya Hak Asasi Hewan dapat terus menjadi dasar aktifitas masyarakat hutan Wanamarta. Setelah lengsernya sang Raja Singa, masyarakat Wanamarta memilih untuk menerapkan Demokrasi Hukum Rimba, dengan begitu siapapun pemimpinnya sama saja.
Kecebong-kecebong itu hanya memikirkan profesi dan karier politiknya sendiri tanpa mau berusaha memahami apa yang terjadi di balik peta perpolitikan Wanamarta. Kenyataan bahwa sedang berlangsung pertarungan kekuatan yang tersembunyi antara Nagarawan dari utara dan Raksasa Jin Yudistira. Pertarungan itu meraka anggap sebagai cerita teori konspirasi omong kosong. Yang diperjuangkan kecebong-kecebong hanya sebatas proses metamorfosis menjadi Kodok. Kodok-kodok yang begitu dapat melompat akan tanpa merasa bersalah keluar-masuk lobang-lobang kekuasaan sesukanya. Kodok-kodok yang pada gilirannya berkuasa, sedikitpun tidak memberikan maslahat bagi masyarakat sekitarnya.

Selasa, 26 September 2017

The Scary Khilafah

The Scary Khilafah

Oleh: Emha Ainun Nadjib   
   
Esai, Khasanah, 5 Agustus 2017
      

Kenapa dunia begitu ketakutan kepada Khilafah? Yang salah visi Khilafahnya ataukah yang menyampaikan Khilafah kepada dunia? Sejak 2-3 abad yang lalu para pemimpin dunia bersepakat untuk memastikan jangan pernah Kaum Muslimin dibiarkan bersatu, agar dunia tidak dikuasai oleh Khilafah.

Maka pekerjaan utama sejarah dunia adalah: dengan segala cara memecah belah Kaum Muslimin. Kemudian, melalui pendidikan, media dan uang, membuat Ummat Islam tidak percaya kepada Khilafah, AlQur`an dan Islam. Puncak sukses peradaban dunia adalah kalau Kaum Muslimin, dengan hati dan pikirannya, sudah memusuhi Khilafah. Hari ini di mata dunia, bahkan di pandangan banyak Kaum Muslimin sendiri: Khilafah lebih terkutuk dan mengerikan dibanding Komunisme dan Terorisme. Bahkan kepada setan dan iblis, manusia tidak setakut kepada Khilafah.

Perkenankan saya mundur dua langkah dan mencekung ke spektrum kecil. Juga maaf-maaf saya menulis lagi tentang Khilafah. Ini tahadduts binni’mah, berbagi kenikmatan. Banyak hal yang membuat saya panèn hikmah, pengetahuan, ilmu dan berkah. Misalnya saya tidak tega kepada teman-teman yang mengalami defisit masa depan karena kalap dan menghardik dan mengutuk-ngutuk tanpa kelengkapan pengetahuan. Sementara saya yang memetik laba ilmu dan berkahnya.

Ummat manusia sudah berabad-abad melakukan penelitian atas alam dan kehidupan. Maka mereka takjub dan mengucapkan “Robbana ma kholaqta hadza bathila”. Wahai Maha Pengasuh, seungguh tidak sia-sia Engkau menciptakan semua ini. Bahkan teletong Sapi, menjadi pupuk. Sampah-sampah alam menjadi rabuk. Timbunan batu-batu menjadi mutiara. Penjajahan melahirkan kemerdekaan. Kejatuhan menghasilkan kebangkitan. Penderitaan memberi pelajaran tentang kebahagiaan.

Saya juga tidak tega kepada teman-teman yang anti-Khilafah. Tidak tega mensimulasikan nasibnya di depan Tuhan. Sebab mereka menentang konsep paling mendasar yang membuat-Nya menciptakan manusia. Komponen penyaringnya dol: anti HTI berarti anti Khilafah. Lantas menyembunyikan pengetahuan bahwa anti Khilafah adalah anti Tuhan. “Inni ja’ilun fil ardli khalifah”. Sesungguhnya aku mengangkat Khalifah di bumi. Ketika menginformasikan kepada para staf-Nya tentang makhluk yang Ia ciptakan sesudah Malaikat, jagat raya, Jin dan Banujan, yang kemudian Ia lantik – Tuhan tidak menyebutnya dengan “Adam” atau “Manusia”, “Insan”, “Nas” atau “makhluk hibrida baru”, melainkan langsung menyebutnya Khalifah. Bukan sekadar “Isim” tapi juga langsung “Af’al”.

Konsep Khilafah dengan pelaku Khalifah adalah bagian dari desain Tuhan atas kehidupan manusia di alam semesta. Adalah skrip-Nya, visi missi-Nya, Garis Besar Haluan Kehendak-Nya. Khilafah adalah UUD-nya Allah swt. Para Wali membumikannya dengan mendendangkan: di alam semesta atau al’alamin yang harus dirahmatkan oleh Khilafah manusia, adalah “tandure wis sumilir, tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar”. Tugas Khalifah adalah “pènèkno blimbing kuwi”. Etos kerja, amal saleh, daya juang upayakan tidak mencekung ke bawah: “lunyu-lunyu yo penekno”. Selicin apapun jalanan di zaman ini, terus panjatlah, terus memanjatlah, untuk memetik “blimbing” yang bergigir lima.

Khilafah adalah desain Tuhan agar manusia mencapai “keadilan sosial”, “gemah ripah loh jinawi”, “rahmatan lil’alamin” atau “baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghofur”. Apanya yang ditakutkan? Apalagi Ummat Islam sudah terpecah belah mempertengkarkan hukum kenduri dan ziarah kubur, celana congklang dan musik haram, atau Masjid jadi ajang kudeta untuk boleh tidaknya tahlilan dan shalawatan. Mungkin butuh satu milenium untuk mulai takut kepada “masuklah ke dalam Islam sepenuh-penuhnya dan bersama-sama”. Itu pun sebenarnya tidak menakutkan. Apalagi dunia sekarang justru diayomi oleh “udkhulu fis-silmi kaffah”: masuklah ke dalam Silmi sejauh kemampuanmu untuk mempersatukan dan membersamakan.

Hari-hari ini jangan terlalu tegang menghadapi Kaum Muslimin. Kenduri yang dipertentangkan adalah kenduri wèwèh ambengan antar tetangga, bukan kenduri pasokan dana nasional. Toh juga dengan pemahaman ilmu yang tanpa anatomi, banyak teman mengidentikkan dan mempersempit urusan Khilafah dengan Hizbut Tahrir. HTI sendiri kurang hati-hati mewacanakan Khilafah sehingga dunia dan Indonesia tahunya Khilafah adalah HTI, bukan Muhammadiyah atau lainnya. Padahal HT maupun HTI bukan penggagas Khilafah, bukan pemilik Khilafah dan bukan satu-satunya kelompok di antara ummat manusia yang secara spesifik ditugasi oleh Allah untuk menjadi Khalifah.

Setiap manusia dilantik menjadi Khalifah oleh Allah. Saya tidak bisa menyalahkan atau membantah Allah, karena kebetulan bukan saya yang menciptakan gunung, sungai, laut, udara, tata surya, galaksi-galaksi. Bahkan saya tidak bisa menyuruh jantung saya berdetak atau stop. Saya tidak mampu membangunkan diri saya sendiri dari tidur. Saya tidak sanggup memuaikan sel-sel tubuh saya, menjadwal buang air besar hari ini jam sekian, menit kesekian, detik kesekian. Bahkan cinta di dalam kalbu saya nongol dan menggelembung begitu saja, sampai seluruh alam semesta dipeluknya — tanpa saya pernah memprogramnya.

Jadi ketika Tuhan bilang “Jadilah Pengelola Bumi”, saya tidak punya pilihan lain. Saya hanya karyawan-Nya. Allah Big Boss saya. Meskipun dia kasih aturan dasar “fa man sya`a falyu`min, wa man sya`a falyakfur”, yang beriman berimanlah, yang ingkar ingkarlah – saya tidak mau kehilangan perhitungan. Kalau saya menolak regulasi Boss, saya mau kerja di mana, mau kos di mana, mau pakai kendaraan apa, mau bernapas dengan udara milik siapa. Apalagi kalau saya tidur dengan istri, Tuhan yang berkuasa membuatnya hamil. Bukan saya. Saya cuma numpang enak sebentar.

Hal-hal seperti itu belum cukup mendalam dan rasional menjadi kesadaran individual maupun kolektif Kaum Muslimin. Jadi, wahai dunia, apa yang kau takutkan dari Khilafah? Andaikan Khilafah terwujud, kalian akan diayomi oleh rahmatan lil’alamin. Andaikan ia belum terwujud, sampai hari ini fakta di muka bumi belum dan bukan Khilafah, melainkan masih Kaum Muslimin. Bahkan di pusatnya sana Islam tidak sama dengan Arab. Arab tidak sama dengan Saudi. Saudi tidak sama dengan Quraisy. Quraisy tidak sama dengan Badwy. Apa yang kau takutkan? Wahai dunia, jangan ganggu kemenanganmu dengan rasa takut kepada fatamorgana.

Ahok dan Sikap Antikebinekaan

Ahok dan Sikap Antikebinekaan

Republika Online | Saturday, 04 February 2017 | 09:58 WIB

Oleh: Wartawan Republika, Arif Supriyono

Empat bulan sudah berlalu. Sejak ucapan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 tentang surah al-Maidah ayat 51 -yang kemudian dinyatakan sebagai penistaan agama Islam oleh Majelis Ulama Indonesia- hingga kini kegaduhan itu tak jua surut.

Desakan umat melalui beberapa kali demonstrasi agar Ahok dijadikan tersangka akhirnya terpenuhi. Tepat 51 hari setelah Ahok membahas al-Maidah 51 dan mengaitkannya dengan pilih-memilih dalam Pilkada DKI Jakarta, sang gubernur pengganti itu ditetapkan oleh Mabes Polri sebagai tersangka penistaan agama.

Ya, kegaduhan itu memang bermula dari acara di Kepulauan Seribu. Saat itu sedang ada acara kerja sama Pemprov DKI dengan Sekolah Tinggi Perikanan dan sekaligus penyerahan bantuan 4.000 benih ikan kerapu. Meski kala itu belum masa kampanye dan sang gubernur pun memakai seragam dinas, dengan enteng dia membahas soal pilih-memilih. Walau itu bukan acara keagamaan dan dia pun bukan pemeluk Islam, tanpa ragu Ahok membahas al-Maidah 51 di hadapan massa yang mayoritas Muslim.

Masyarakat kemudian bergolak. Atas saran berbagai pihak, Ahok sempat menyampaikan permintaan maaf. Lalu lebih 500 ribu massa melakukan unjuk rasa pada 4 November 2016. Ahok bukannya mencoba mendinginkan suasana akan tetapi justru kembali menyulut bara api permusuhan.

Seolah tak ingat lagi dengan pemintaan maafnya, Ahok menuding itu sebagai demonstrasi bayaran. Masing-masing peserta unjuk rasa dia tuduh menerima Rp 500 ribu. Tuduhan yang sama sekali tak menggunakan nalar. Rasanya tidak mungkin membuang Rp 250 miliar hanya untuk sekali demo.

Desakan masyarakat kian menguat. Demo lebih besar yang damai dan indah dengan melibatkan lebih 2,5 juta manusia pun digelar pada 2 Desember 2016 (aksi damai 212) dan dipusatkan di Monas, Jakarta. Tak sedikit peserta unjuk rasa yang berasal dari luar Jawa: Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Barat.

Entah karena desakan massa tersebut atau karena hal lain, polisi kemudian menyerahkan berkas pemeriksaan Ahok ke kejaksaan. Persidangan pertama terhadap politikus yang telah empat kali pindah partai politik ini pun dilaksanakan pada 13 Desember 2016. Di sela-sela persidangan, ada drama yang seolah menyentuh rasa kemanusiaan. Di sebuah ruang, Ahok dipeluk seorang wanita yang disebut-sebut sebagai kakak angkatnya (yang selama ini memang mendukung Ahok sebagai cagub) dengan mimik memelas yang disertai tangisan. Ahok pun ikut menangis.

Mungkin adegan yang disebar di lini masa itu dimaksudkan agar masyarakat bersimpati kepada Ahok. Dalam banyak kesempatan Ahok juga mengungkapkan niatnya untuk mengubah sikap dengan bertutur kata lebih santun dan beradab. Terlihat beberapa kali nada bicara dan cara bersikap Ahok memang sedikit berubah.

Namun, itu tak bertahan lama. Karakter aslinya kembali muncul dan itu akan sulit berubah. Dalam persidangan kedelapan, Ahok menghardik saksi KH Ma’ruf Amin yang juga ketua umum MUI Pusat. Ahok menuding Ma’ruf Amin berbohong. Ini karena KH Ma’ruf Amin menjawab tidak tahu saat ditanya pengacara Ahok, apakah SBY pernah menelepon dan minta dibuatkan fatwa/pandangan MUI soal ucapan Ahok.

Sang penista itu lalu mengancam akan menuntut KH Maruf Amin -yang juga rais aam (ketua umum) PB Nahdlatul Ulama- karena telah berbohong. Sehari kemudian, SBY mengaku pernah bicara lewat telepon dengan KH Ma’ruf Amin namun tak minta dibuatkan fatwa tersebut, akan tetapi sekadar mohon restu atas pencalonan Agus Harimurti Yudhoyono sebagai gubernur.

Saya tak membahas soal kemarahan umat Islam dan warga Nahdliyin atas kekasaran Ahok kepada ulama yang jadi panutan umat tersebut. Justru saya ingin menyoroti sikap dan karakter buruk Ahok.

Menurut pandangan saya, kegaduhan belakangan ini adalah murni karena sikap Ahok. Andai Ahok yang nonmuslim itu tak latah dan ceroboh mengungkit-ungkit ayat dalam kitab suci umat Islam, energi bangsa tak akan terkuras selama berbulan-bulan hanya untuk menyelesaikan kasusnya. Sadar atau tidak, penilaian Ahok atas surah al-Maidah 51 itu berpotensi memecah belah umat.

Dengan merendahkan dan menyerang kehormatan KH Ma’ruf Amin, Ahok secara demonstratif telah menjadi pelopor untuk  menurunkan wibawa ulama di mata masyarakat. Tentu secara pribadi, Ahok juga tak menghargai ulama sepuh NU tersebut. Kalau ini dibiarkan dan dijadikan contoh bagi masyarakat lainnya, ulama tak akan lagi punya harga diri di mata khalayak. Pada gilirannya, masyarakat akan bisa kian dijauhkan dari kehidupan dan nilai-nilai keberagamaan.

Ahok pun sempat mengatakan pada KH Ma’ruf Amin, ”Kalau Anda menzalimi saya, Anda lawan adalah Tuhan Yang Maha Kuasa dan akan saya buktikan satu per satu, dipermalukan nanti”. Itu ucapan yang sangat arogan. Bahkan dalam penilaian saya, itu jelas-jelas bentuk kepongahan yang melebihi kuasa Tuhan.

Bagaimana tidak pongah? Pada ulama sepuh yang sarat ilmu pun dia berceramah dan berujar bahwa tindakan sang kiai itu sebagai melawan Tuhan. Dia juga yakin, bahwa sang sesepuh NU itu akan dipermalukan.

Bukti lain adanya upaya Ahok untuk memecah belah umat bisa dilihat dari permintaan maafnya kepada KH Ma’ruf Amin. Ahok sempat mengucapkan, ”Bagaimana mungkin saya bisa berseberangan dengan NU yang jelas-jelas menjaga kebinekaan dan nasionalis seperti ini”.

Pernyataan itu sangat tendensius dan amat membahayakan. Itu merupakan bentuk provokasi dan upaya dia untuk memisahkan (bahkan mengadu domba) antara warga Nahdliyin dan umat Islam dari kalangan lain. Ini tidak pantas diucapkan oleh seorang pemimpin. Sebagai umat Islam, saya berhak untuk marah atas ucapan provokatif Ahok ini.

Peran dan tugas pemimpin adalah menjaga persatuan dan kebersamaan. Keberagaman tak mungkin bisa diseragamkan. Namun, keberagaman bisa dijaga untuk menuju persatuan dan kebersamaan. Nilai persatuan dan kebersamaan itu jauh lebih mahal daripada sekadar hasil fisik pembangunan. Seorang pemimpin yang punya tendensi memecah belah umat dan antikeberagaman, sejatinya sudah tak lagi pantas menduduki kursi pemimpin.

Itu juga berarti, jiwa kepemimpinannya sudah hilang dan yang tersisa cuma arogansi serta ambisi untuk senantiasa berkuasa, tanpa pernah memandang dan memiliki rasa hormat kepada sesama. Dia hanya mencitrakan diri bersih, akan tetapi menggunakan segala cara untuk terus berkuasa.

Lihat kasus RS Sumber Waras, pembelian lahan Rp 634 miliar yang ternyata milik Pemprov DKI sendiri, soal reklamasi, dan penggusuran yang mengabaikan rasa keadilan. Ahok tidak menghapus kemiskinan akan tetapi sekadar mengusir masyarakat miskin.

Masyarakat tentu tak butuh pemimpin model demikian. Justru pemimpin seperti inilah yang sangat mungkin akan membahayakan masa depan bangsa yang berbineka. Keberagaman dan kebersamaan akan berpotensi robek, tercabik-cabik, dan terpecah belah karena sikap pemimpin yang sengaja memainkan kendali kuasa dengan mengadu domba. Antaragama dan sesama agama pun diadu domba.

Jauh lebih berharga memelihara dan merawat kebinekaan dan kebersamaan daripada mempertahankan Ahok. Kelangsungan harmoni kehidupan sosial akan berbahaya bila ia terus duduk di singgasana kuasa. Namun, semua kembali dan terserah pada nurani serta akal sehat masyarakat.

Al Maidah 51 Membelit Ahok


Al Maidah 51 Membelit Ahok
Oleh: Nasihin Masha

Kolom Resonansi.
Republika Online | Jumat, 21 Oktober 2016 | 06:00 WIB

“Wahai orang-orang yang beriman. Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai aulia (mu); mereka satu sama lain saling melindungi. Barang siapa di antara kamu yang menjadikan mereka aulia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS Al Maidah: 51)

Sengaja saya tulis terjemahan ini menggunakan kata aslinya, yaitu aulia. Karena ada yang menerjemahkan dan menafsirkan aulia ini sebagai teman setia, ada pula yang menerjemahkan dan menafsirkan aulia sebagai pemimpin, bahkan pelindung. Dalam Islam perbedaan itu hal biasa. Tak bisa saling menyalahkan. Silakan ikuti sesuai keyakinan masing-masing.

Dalam konteks Pilkada DKI Jakarta, ayat ini dipakai sebagian pihak untuk menolak Ahok. Namun sebagian yang lain menerima Ahok. Berapa persen yang menolak Ahok karena faktor ini belum ada yang menyiginya. Namun diperkirakan tidak fantastis. Karena sebagian yang menolak Ahok bisa karena faktor yang lain seperti gaya bicara, gaya kepemimpinan, kasus reklamasi, preferensi etnis, daya tarik kandidat lain, penggusuran, dan sebagainya. Hal ini bisa dibuktikan pada kemenangan Jokowi-Ahok pada Pilkada DKI tahun 2012. Saat itu sebagian pihak sudah menyadari bahwa Jokowi akan maju dalam Pilpres 2014. Saat itu sudah ada kampanye untuk tak memilih Jokowi-Ahok karena Jokowi akan maju dalam pilpres. Apalagi sudah ada preseden bahwa pasangan Jokowi di Solo juga beragama Kristen [Katolik]. Karena Jokowi maju sebagai gubernur DKI maka pasangannya itu kini menjadi walikota Solo, yaitu FX Hadi Rudyatmo. Namun kampanye itu tak mempan. Orang tetap memilih Jokowi-Ahok, dan kemudian Jokowi-JK dalam pilpres.

Lalu mengapa soal agama Ahok itu kini menjadi soal yang seolah serius? Ada banyak faktor. Pertama, isu itu berpadu dengan faktor negatif Ahok sehingga menimbulkan resonansi yang nyaring. Kedua, faktor ini sengaja ada yang memainkan untuk keuntungan kandidat tertentu. Bisa dari kubu Ahok sendiri, bisa juga dari kubu lain. Kok kubu Ahok? Ya. Isu sentimen agama dalam politik Indonesia, apalagi Jakarta, tak selalu menguntungkan bagi kontestan muslim. Bangsa ini secara umum lebih menyukai inklusivitas dan toleransi. Secara natural itu sudah menjadi jiwa bangsa Indonesia sejak awal, jauh sebelum masuknya agama Hindu, Buddha, Islam, maupun Kristen. Pada sisi lain, pemilih yang menolak ahok berdasarkan agama sudah dari awal sudah tak akan memilih Ahok. Sehingga isu ini tak bermanfaat untuk dihembuskan menyerang Ahok. Memang ada harapan untuk swing voters yang belum mengambil keputusan. Tapi pemilih ini secara umum lebih menyukai pilihan yang menjadi kecenderungan umum ataupun pemilih rasional. Pemilih rasional tentu tak berpreferensi agama. Pemilih yang ikut tren juga menyukai yang fun. Seperti kemenangan Jokowi pada Pilpres 2014 yang ditentukan Konser Dua Jari. Jadi isu agama hanya memberikan keuntungan yang sedikit untuk lawan Ahok. Karena itu diksi yang banyak digunakan tim kampanye Ahok adalah NKRI, pluralisme, dan jangan SARA. Namun ketakpahaman juga banyak menyelimuti orang-orang yang emosional. Juga ada faktor emosi yang mudah tersulut.

Pada sisi lain, di sejumlah daerah lain, yang mayoritas beragama Islam, juga terdapat kepala daerah yang beragama Kristen. Partai-partai berideologi dan berbasis massa Islam juga biasa mengusung kandidat nonmuslim. Karena itu faktor agama, bukanlah faktor dominan. Bahwa masih ada sebagian kecil masyarakat yang masih mengukuhi hal itu tentu saja tak dipungkiri. Kita tak bisa menyuruh orang untuk seragam. Di Amerika Serikat pun kampanye semacam itu dilakukan. Contohnya saat Barack H Obama maju sebagai kandidat presiden. Ayahnya yang muslim diungkit. Nama tengahnya yang Husein dituduhkan bahwa Obama beragam Islam. Bahkan ia sempat dituduh sekolah madrasah saat tinggal di Indonesia. Padahal dia sebentar sekolah di sekolah negeri, dan lebih lama di sekolah Kristen di Jakarta. Itulah realitas masyarakat yang majemuk dan realitas politik yang keras.

Namun pada titik ini justru Ahok memasukinya. Inilah petikan transkrip pidatonya di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, pada 27 September lalu: “Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak-Ibu gak bisa pilih saya. Ya kan dibohongin pake surat Al Maidah 51 macem-macem itu...(hadirin tertawa). Itu hak Bapak-Ibu, ya. Jadi Bapak-Ibu perasaan gak bisa pilih nih karena 'saya takut masuk neraka'...dibodohin itu...ngga papa. Karena itu panggilan pribadi Bapak-Ibu.”

Sehari kemudian, pada 28 September, sudah muncul berita ada pengaduan ke Bawaslu tentang ucapan Ahok tersebut. Di Youtube, pada 28 September itu, ada yang mengunggah berita dari TV Beritasatu yang berisi tanggapan Ahok terhadap semua itu. Ahok membantah bahwa itu sebagai pelecehan. “Semua orang boleh mengutip kitab suci. Kitab suci terbuka untuk umum,” katanya. Bahkan Ahok menyatakan bahwa Alquran dipertandingkan lewat MTQ. “Dipertandingkan lagi. Dapat hadiah lagi. Melecehkan tidak?” katanya.

Ahok merasa tak ada kekeliruan dari pidatonya. Ia tak merasa bersalah, bahkan bicaranya melebar ke MTQ. Hal itu juga dilakukan para pendukungnya lewat media sosial. Mereka bukan hanya membela Ahok tapi juga menyerang pihak yang berbeda. Sudah menjadi ciri sosmed dan cyber army untuk bersifat agresif, memaki, dan menghina. Ini karena media sosial bersifat kerumunan dan kental dengan watak membully. Apalagi banyak akun-akun anonim dan robot, juga spin yang mengulas di luar substansi.

Benar sekali bahwa mengutip Alquran atau kitab suci apapun bebas. Namun yang menjadi soal adalah penilaian bahwa itu “dibohongin” dan “dibodohin” dengan menggunakan Al Maidah ayat 51. Adanya perbedaan tafsir bukan berarti yang satu berbohong atau membodohi dan yang lain benar sendiri. Tidak. Dua-duanya atau bahkan tiga-tiganya, empat-empatnya, dan seterusnya adalah benar. Itulah norma yang berlaku di dalam Islam. Apalagi ada yang menafsirkan kalimat Ahok itu sebagai dibohongi dan dibodohi oleh Al Maidah ayat 51 itu sendiri. Jika yang pertama adalah menafikan tafsir lain sebagai kebohongan dan pembodohan, maka yang kedua ini lebih berat lagi karena Al Maidah ayat 51 itu sebagai kebohongan dan pembodohan. Dua tafsir dari kalimat Ahok itulah yang berkembang di masyarakat. Karena itu wajar jika hal itu menimbulkan riak yang keras. Tak hanya dari awam tapi juga dari ulama dan institusi resmi MUI melalui sikap yang resmi pula.

Karena ini sudah masuk wilayah politik, maka para pihak pendukungnya melakukan pembelaan. Inilah dampak serius dari pidato Ahok tersebut. Terjadi saling serang di level sosial. Kita bersyukur kemudian Ahok meminta maaf, walau cukup terlambat. Pidato tanggal 27 September, esoknya sudah ada reaksi keras, namun baru minta maaf pada tanggal 10 Oktober. Permintaan maaf itu dilakukan melalui wawancara doorstop dengan wartawan.

Inilah petikan pernyataan Ahok tersebut: “Saya sampaikan kepada semua umat Islam ataupun orang yang merasa tersinggung, saya sampaikan mohon maaf. Tidak ada maksud saya melecehkan agama Islam atau Alquran.”

Ia juga mengatakan, “Saya dari kecil...kamu bisa lihat...bukan kita mau riya gitu ya...sekolah-sekolah Islam kita bantu izin berapa banyak selesaikan izin, termasuk KJP untuk madrasah, termasuk kita bangun masjid. Kamu bisa lihat tindak-tanduk saya ada nggak musuhin Islam, ada nggak pengen melecehkan Alquran. Makanya saya minta maaf untuk kegaduhan ini.”

Ia melanjutkan, “Saya pengalaman saya dari 2003 selalu mengalami selebaran seperti ini. Makanya saya lumayan hapal.” Ia mengatakan, “Untuk semua pihak yang jadi repot, gaduh, gara-gara saya, saya sampaikan mohon maaf... Jangan ngomongin tafsiran-tafsiran agama yang sensitif, karena sesama agama yang sama pun bisa menafsirkannya berbeda. Ya sudah saya minta maaf untuk itu.”

Padahal jika melihat data survei, jelas sekali dukungan umat Islam ke Ahok sangat kuat. Berdasarkan data Lingkaran Survei Indonesia (LSI), 27,7 persen pemilih Islam memilih Ahok. Sedangkan Anies hanya dipilih 22,8 persen dan Agus cuma 20,6 persen pemilih muslim. Masih ada 28,9 persen pemilih muslim yang belum mengambil keputusan. Mari bandingkan dengan pemilih nonmuslim. Mayoritas mereka terserap di Ahok, yaitu 83,3 persen. Bandingkan dengan Anies dan Agus yang masing-masing cuma kebagian 2,8 persen dan 3,2 persen. Hanya 10,7 persen nonmuslim yang belum menentukan pilihannya.

Data Populi juga mirip. Ahok didukung pemilih muslim. Ia meraih 42,5 persen. Sedangkan Anies dan Agus masing-masing kebagian 25,3 persen dan 16,8 persen. Adapun pemilih Protestan dan Katolik terserap ke Ahok yaitu 80 persen dan 82 persen. Untuk pemilih Protestan dan Katolik masing-masing 0 persen dan 11,8 persen untuk Anies, serta 10 persen dan 0 persen untuk Agus. Pemilih muslim masih ada 13,2 persen yang belum memutuskan, sedangkan untuk Protestan dan Katolik masing-masing 5 persen dan 0 persen yang belum bersikap.

Dalam politik, sesuatu yang wajar jika minoritas cenderung solid dalam menyerahkan suaranya. Hal ini terjadi di banyak negara. Tapi data itu juga menunjukkan bahwa Ahok selalu mendulang suara tertinggi dari pemilih muslim dari dua survei tersebut. Ini menunjukkan Ahok bisa diterima oleh muslim, tapi juga sekaligus memperlihatkan sikap inklusif dan plural muslim sudah menjadi bagian inheren dalam nilai-nilai muslim. Jika ada sebagian kecil yang berpendapat di sisi ujung tentu wajar dalam suatu masyarakat. Namun mereka bukan Geert Wilders atau Donald Trump yang merupakan tokoh politik resmi dan di pucuk pimpinan nasional di negaranya masing-masing.

Kebesaran jiwa, kerelaan hati, kejujuran, dan bersikap lembut hati dalam melihat perbedaan harus menjadi watak dasar pemimpin bangsa dan negara. Satu orang saja pemimpin yang tidak bisa mengontrol kata-katanya bisa berdampak luas di tingkat akar rumput. Kita berharap bahwa norma demokrasi, inklusivitas, dan nondiskriminasi menjadi watak dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

© 2015 republika.co.id - All Rights Reserved.

Berkahe Mayoritas

Saya hanya ingin mengatakan bahwa, Salah satu berkahnya Islam menjadi Mayoritas di Indonesia adalah: separah apa pun pemerintahnya, tidak ak...