Selasa, 26 September 2017

The Scary Khilafah

The Scary Khilafah

Oleh: Emha Ainun Nadjib   
   
Esai, Khasanah, 5 Agustus 2017
      

Kenapa dunia begitu ketakutan kepada Khilafah? Yang salah visi Khilafahnya ataukah yang menyampaikan Khilafah kepada dunia? Sejak 2-3 abad yang lalu para pemimpin dunia bersepakat untuk memastikan jangan pernah Kaum Muslimin dibiarkan bersatu, agar dunia tidak dikuasai oleh Khilafah.

Maka pekerjaan utama sejarah dunia adalah: dengan segala cara memecah belah Kaum Muslimin. Kemudian, melalui pendidikan, media dan uang, membuat Ummat Islam tidak percaya kepada Khilafah, AlQur`an dan Islam. Puncak sukses peradaban dunia adalah kalau Kaum Muslimin, dengan hati dan pikirannya, sudah memusuhi Khilafah. Hari ini di mata dunia, bahkan di pandangan banyak Kaum Muslimin sendiri: Khilafah lebih terkutuk dan mengerikan dibanding Komunisme dan Terorisme. Bahkan kepada setan dan iblis, manusia tidak setakut kepada Khilafah.

Perkenankan saya mundur dua langkah dan mencekung ke spektrum kecil. Juga maaf-maaf saya menulis lagi tentang Khilafah. Ini tahadduts binni’mah, berbagi kenikmatan. Banyak hal yang membuat saya panèn hikmah, pengetahuan, ilmu dan berkah. Misalnya saya tidak tega kepada teman-teman yang mengalami defisit masa depan karena kalap dan menghardik dan mengutuk-ngutuk tanpa kelengkapan pengetahuan. Sementara saya yang memetik laba ilmu dan berkahnya.

Ummat manusia sudah berabad-abad melakukan penelitian atas alam dan kehidupan. Maka mereka takjub dan mengucapkan “Robbana ma kholaqta hadza bathila”. Wahai Maha Pengasuh, seungguh tidak sia-sia Engkau menciptakan semua ini. Bahkan teletong Sapi, menjadi pupuk. Sampah-sampah alam menjadi rabuk. Timbunan batu-batu menjadi mutiara. Penjajahan melahirkan kemerdekaan. Kejatuhan menghasilkan kebangkitan. Penderitaan memberi pelajaran tentang kebahagiaan.

Saya juga tidak tega kepada teman-teman yang anti-Khilafah. Tidak tega mensimulasikan nasibnya di depan Tuhan. Sebab mereka menentang konsep paling mendasar yang membuat-Nya menciptakan manusia. Komponen penyaringnya dol: anti HTI berarti anti Khilafah. Lantas menyembunyikan pengetahuan bahwa anti Khilafah adalah anti Tuhan. “Inni ja’ilun fil ardli khalifah”. Sesungguhnya aku mengangkat Khalifah di bumi. Ketika menginformasikan kepada para staf-Nya tentang makhluk yang Ia ciptakan sesudah Malaikat, jagat raya, Jin dan Banujan, yang kemudian Ia lantik – Tuhan tidak menyebutnya dengan “Adam” atau “Manusia”, “Insan”, “Nas” atau “makhluk hibrida baru”, melainkan langsung menyebutnya Khalifah. Bukan sekadar “Isim” tapi juga langsung “Af’al”.

Konsep Khilafah dengan pelaku Khalifah adalah bagian dari desain Tuhan atas kehidupan manusia di alam semesta. Adalah skrip-Nya, visi missi-Nya, Garis Besar Haluan Kehendak-Nya. Khilafah adalah UUD-nya Allah swt. Para Wali membumikannya dengan mendendangkan: di alam semesta atau al’alamin yang harus dirahmatkan oleh Khilafah manusia, adalah “tandure wis sumilir, tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar”. Tugas Khalifah adalah “pènèkno blimbing kuwi”. Etos kerja, amal saleh, daya juang upayakan tidak mencekung ke bawah: “lunyu-lunyu yo penekno”. Selicin apapun jalanan di zaman ini, terus panjatlah, terus memanjatlah, untuk memetik “blimbing” yang bergigir lima.

Khilafah adalah desain Tuhan agar manusia mencapai “keadilan sosial”, “gemah ripah loh jinawi”, “rahmatan lil’alamin” atau “baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghofur”. Apanya yang ditakutkan? Apalagi Ummat Islam sudah terpecah belah mempertengkarkan hukum kenduri dan ziarah kubur, celana congklang dan musik haram, atau Masjid jadi ajang kudeta untuk boleh tidaknya tahlilan dan shalawatan. Mungkin butuh satu milenium untuk mulai takut kepada “masuklah ke dalam Islam sepenuh-penuhnya dan bersama-sama”. Itu pun sebenarnya tidak menakutkan. Apalagi dunia sekarang justru diayomi oleh “udkhulu fis-silmi kaffah”: masuklah ke dalam Silmi sejauh kemampuanmu untuk mempersatukan dan membersamakan.

Hari-hari ini jangan terlalu tegang menghadapi Kaum Muslimin. Kenduri yang dipertentangkan adalah kenduri wèwèh ambengan antar tetangga, bukan kenduri pasokan dana nasional. Toh juga dengan pemahaman ilmu yang tanpa anatomi, banyak teman mengidentikkan dan mempersempit urusan Khilafah dengan Hizbut Tahrir. HTI sendiri kurang hati-hati mewacanakan Khilafah sehingga dunia dan Indonesia tahunya Khilafah adalah HTI, bukan Muhammadiyah atau lainnya. Padahal HT maupun HTI bukan penggagas Khilafah, bukan pemilik Khilafah dan bukan satu-satunya kelompok di antara ummat manusia yang secara spesifik ditugasi oleh Allah untuk menjadi Khalifah.

Setiap manusia dilantik menjadi Khalifah oleh Allah. Saya tidak bisa menyalahkan atau membantah Allah, karena kebetulan bukan saya yang menciptakan gunung, sungai, laut, udara, tata surya, galaksi-galaksi. Bahkan saya tidak bisa menyuruh jantung saya berdetak atau stop. Saya tidak mampu membangunkan diri saya sendiri dari tidur. Saya tidak sanggup memuaikan sel-sel tubuh saya, menjadwal buang air besar hari ini jam sekian, menit kesekian, detik kesekian. Bahkan cinta di dalam kalbu saya nongol dan menggelembung begitu saja, sampai seluruh alam semesta dipeluknya — tanpa saya pernah memprogramnya.

Jadi ketika Tuhan bilang “Jadilah Pengelola Bumi”, saya tidak punya pilihan lain. Saya hanya karyawan-Nya. Allah Big Boss saya. Meskipun dia kasih aturan dasar “fa man sya`a falyu`min, wa man sya`a falyakfur”, yang beriman berimanlah, yang ingkar ingkarlah – saya tidak mau kehilangan perhitungan. Kalau saya menolak regulasi Boss, saya mau kerja di mana, mau kos di mana, mau pakai kendaraan apa, mau bernapas dengan udara milik siapa. Apalagi kalau saya tidur dengan istri, Tuhan yang berkuasa membuatnya hamil. Bukan saya. Saya cuma numpang enak sebentar.

Hal-hal seperti itu belum cukup mendalam dan rasional menjadi kesadaran individual maupun kolektif Kaum Muslimin. Jadi, wahai dunia, apa yang kau takutkan dari Khilafah? Andaikan Khilafah terwujud, kalian akan diayomi oleh rahmatan lil’alamin. Andaikan ia belum terwujud, sampai hari ini fakta di muka bumi belum dan bukan Khilafah, melainkan masih Kaum Muslimin. Bahkan di pusatnya sana Islam tidak sama dengan Arab. Arab tidak sama dengan Saudi. Saudi tidak sama dengan Quraisy. Quraisy tidak sama dengan Badwy. Apa yang kau takutkan? Wahai dunia, jangan ganggu kemenanganmu dengan rasa takut kepada fatamorgana.

Ahok dan Sikap Antikebinekaan

Ahok dan Sikap Antikebinekaan

Republika Online | Saturday, 04 February 2017 | 09:58 WIB

Oleh: Wartawan Republika, Arif Supriyono

Empat bulan sudah berlalu. Sejak ucapan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 tentang surah al-Maidah ayat 51 -yang kemudian dinyatakan sebagai penistaan agama Islam oleh Majelis Ulama Indonesia- hingga kini kegaduhan itu tak jua surut.

Desakan umat melalui beberapa kali demonstrasi agar Ahok dijadikan tersangka akhirnya terpenuhi. Tepat 51 hari setelah Ahok membahas al-Maidah 51 dan mengaitkannya dengan pilih-memilih dalam Pilkada DKI Jakarta, sang gubernur pengganti itu ditetapkan oleh Mabes Polri sebagai tersangka penistaan agama.

Ya, kegaduhan itu memang bermula dari acara di Kepulauan Seribu. Saat itu sedang ada acara kerja sama Pemprov DKI dengan Sekolah Tinggi Perikanan dan sekaligus penyerahan bantuan 4.000 benih ikan kerapu. Meski kala itu belum masa kampanye dan sang gubernur pun memakai seragam dinas, dengan enteng dia membahas soal pilih-memilih. Walau itu bukan acara keagamaan dan dia pun bukan pemeluk Islam, tanpa ragu Ahok membahas al-Maidah 51 di hadapan massa yang mayoritas Muslim.

Masyarakat kemudian bergolak. Atas saran berbagai pihak, Ahok sempat menyampaikan permintaan maaf. Lalu lebih 500 ribu massa melakukan unjuk rasa pada 4 November 2016. Ahok bukannya mencoba mendinginkan suasana akan tetapi justru kembali menyulut bara api permusuhan.

Seolah tak ingat lagi dengan pemintaan maafnya, Ahok menuding itu sebagai demonstrasi bayaran. Masing-masing peserta unjuk rasa dia tuduh menerima Rp 500 ribu. Tuduhan yang sama sekali tak menggunakan nalar. Rasanya tidak mungkin membuang Rp 250 miliar hanya untuk sekali demo.

Desakan masyarakat kian menguat. Demo lebih besar yang damai dan indah dengan melibatkan lebih 2,5 juta manusia pun digelar pada 2 Desember 2016 (aksi damai 212) dan dipusatkan di Monas, Jakarta. Tak sedikit peserta unjuk rasa yang berasal dari luar Jawa: Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Barat.

Entah karena desakan massa tersebut atau karena hal lain, polisi kemudian menyerahkan berkas pemeriksaan Ahok ke kejaksaan. Persidangan pertama terhadap politikus yang telah empat kali pindah partai politik ini pun dilaksanakan pada 13 Desember 2016. Di sela-sela persidangan, ada drama yang seolah menyentuh rasa kemanusiaan. Di sebuah ruang, Ahok dipeluk seorang wanita yang disebut-sebut sebagai kakak angkatnya (yang selama ini memang mendukung Ahok sebagai cagub) dengan mimik memelas yang disertai tangisan. Ahok pun ikut menangis.

Mungkin adegan yang disebar di lini masa itu dimaksudkan agar masyarakat bersimpati kepada Ahok. Dalam banyak kesempatan Ahok juga mengungkapkan niatnya untuk mengubah sikap dengan bertutur kata lebih santun dan beradab. Terlihat beberapa kali nada bicara dan cara bersikap Ahok memang sedikit berubah.

Namun, itu tak bertahan lama. Karakter aslinya kembali muncul dan itu akan sulit berubah. Dalam persidangan kedelapan, Ahok menghardik saksi KH Ma’ruf Amin yang juga ketua umum MUI Pusat. Ahok menuding Ma’ruf Amin berbohong. Ini karena KH Ma’ruf Amin menjawab tidak tahu saat ditanya pengacara Ahok, apakah SBY pernah menelepon dan minta dibuatkan fatwa/pandangan MUI soal ucapan Ahok.

Sang penista itu lalu mengancam akan menuntut KH Maruf Amin -yang juga rais aam (ketua umum) PB Nahdlatul Ulama- karena telah berbohong. Sehari kemudian, SBY mengaku pernah bicara lewat telepon dengan KH Ma’ruf Amin namun tak minta dibuatkan fatwa tersebut, akan tetapi sekadar mohon restu atas pencalonan Agus Harimurti Yudhoyono sebagai gubernur.

Saya tak membahas soal kemarahan umat Islam dan warga Nahdliyin atas kekasaran Ahok kepada ulama yang jadi panutan umat tersebut. Justru saya ingin menyoroti sikap dan karakter buruk Ahok.

Menurut pandangan saya, kegaduhan belakangan ini adalah murni karena sikap Ahok. Andai Ahok yang nonmuslim itu tak latah dan ceroboh mengungkit-ungkit ayat dalam kitab suci umat Islam, energi bangsa tak akan terkuras selama berbulan-bulan hanya untuk menyelesaikan kasusnya. Sadar atau tidak, penilaian Ahok atas surah al-Maidah 51 itu berpotensi memecah belah umat.

Dengan merendahkan dan menyerang kehormatan KH Ma’ruf Amin, Ahok secara demonstratif telah menjadi pelopor untuk  menurunkan wibawa ulama di mata masyarakat. Tentu secara pribadi, Ahok juga tak menghargai ulama sepuh NU tersebut. Kalau ini dibiarkan dan dijadikan contoh bagi masyarakat lainnya, ulama tak akan lagi punya harga diri di mata khalayak. Pada gilirannya, masyarakat akan bisa kian dijauhkan dari kehidupan dan nilai-nilai keberagamaan.

Ahok pun sempat mengatakan pada KH Ma’ruf Amin, ”Kalau Anda menzalimi saya, Anda lawan adalah Tuhan Yang Maha Kuasa dan akan saya buktikan satu per satu, dipermalukan nanti”. Itu ucapan yang sangat arogan. Bahkan dalam penilaian saya, itu jelas-jelas bentuk kepongahan yang melebihi kuasa Tuhan.

Bagaimana tidak pongah? Pada ulama sepuh yang sarat ilmu pun dia berceramah dan berujar bahwa tindakan sang kiai itu sebagai melawan Tuhan. Dia juga yakin, bahwa sang sesepuh NU itu akan dipermalukan.

Bukti lain adanya upaya Ahok untuk memecah belah umat bisa dilihat dari permintaan maafnya kepada KH Ma’ruf Amin. Ahok sempat mengucapkan, ”Bagaimana mungkin saya bisa berseberangan dengan NU yang jelas-jelas menjaga kebinekaan dan nasionalis seperti ini”.

Pernyataan itu sangat tendensius dan amat membahayakan. Itu merupakan bentuk provokasi dan upaya dia untuk memisahkan (bahkan mengadu domba) antara warga Nahdliyin dan umat Islam dari kalangan lain. Ini tidak pantas diucapkan oleh seorang pemimpin. Sebagai umat Islam, saya berhak untuk marah atas ucapan provokatif Ahok ini.

Peran dan tugas pemimpin adalah menjaga persatuan dan kebersamaan. Keberagaman tak mungkin bisa diseragamkan. Namun, keberagaman bisa dijaga untuk menuju persatuan dan kebersamaan. Nilai persatuan dan kebersamaan itu jauh lebih mahal daripada sekadar hasil fisik pembangunan. Seorang pemimpin yang punya tendensi memecah belah umat dan antikeberagaman, sejatinya sudah tak lagi pantas menduduki kursi pemimpin.

Itu juga berarti, jiwa kepemimpinannya sudah hilang dan yang tersisa cuma arogansi serta ambisi untuk senantiasa berkuasa, tanpa pernah memandang dan memiliki rasa hormat kepada sesama. Dia hanya mencitrakan diri bersih, akan tetapi menggunakan segala cara untuk terus berkuasa.

Lihat kasus RS Sumber Waras, pembelian lahan Rp 634 miliar yang ternyata milik Pemprov DKI sendiri, soal reklamasi, dan penggusuran yang mengabaikan rasa keadilan. Ahok tidak menghapus kemiskinan akan tetapi sekadar mengusir masyarakat miskin.

Masyarakat tentu tak butuh pemimpin model demikian. Justru pemimpin seperti inilah yang sangat mungkin akan membahayakan masa depan bangsa yang berbineka. Keberagaman dan kebersamaan akan berpotensi robek, tercabik-cabik, dan terpecah belah karena sikap pemimpin yang sengaja memainkan kendali kuasa dengan mengadu domba. Antaragama dan sesama agama pun diadu domba.

Jauh lebih berharga memelihara dan merawat kebinekaan dan kebersamaan daripada mempertahankan Ahok. Kelangsungan harmoni kehidupan sosial akan berbahaya bila ia terus duduk di singgasana kuasa. Namun, semua kembali dan terserah pada nurani serta akal sehat masyarakat.

Al Maidah 51 Membelit Ahok


Al Maidah 51 Membelit Ahok
Oleh: Nasihin Masha

Kolom Resonansi.
Republika Online | Jumat, 21 Oktober 2016 | 06:00 WIB

“Wahai orang-orang yang beriman. Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai aulia (mu); mereka satu sama lain saling melindungi. Barang siapa di antara kamu yang menjadikan mereka aulia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS Al Maidah: 51)

Sengaja saya tulis terjemahan ini menggunakan kata aslinya, yaitu aulia. Karena ada yang menerjemahkan dan menafsirkan aulia ini sebagai teman setia, ada pula yang menerjemahkan dan menafsirkan aulia sebagai pemimpin, bahkan pelindung. Dalam Islam perbedaan itu hal biasa. Tak bisa saling menyalahkan. Silakan ikuti sesuai keyakinan masing-masing.

Dalam konteks Pilkada DKI Jakarta, ayat ini dipakai sebagian pihak untuk menolak Ahok. Namun sebagian yang lain menerima Ahok. Berapa persen yang menolak Ahok karena faktor ini belum ada yang menyiginya. Namun diperkirakan tidak fantastis. Karena sebagian yang menolak Ahok bisa karena faktor yang lain seperti gaya bicara, gaya kepemimpinan, kasus reklamasi, preferensi etnis, daya tarik kandidat lain, penggusuran, dan sebagainya. Hal ini bisa dibuktikan pada kemenangan Jokowi-Ahok pada Pilkada DKI tahun 2012. Saat itu sebagian pihak sudah menyadari bahwa Jokowi akan maju dalam Pilpres 2014. Saat itu sudah ada kampanye untuk tak memilih Jokowi-Ahok karena Jokowi akan maju dalam pilpres. Apalagi sudah ada preseden bahwa pasangan Jokowi di Solo juga beragama Kristen [Katolik]. Karena Jokowi maju sebagai gubernur DKI maka pasangannya itu kini menjadi walikota Solo, yaitu FX Hadi Rudyatmo. Namun kampanye itu tak mempan. Orang tetap memilih Jokowi-Ahok, dan kemudian Jokowi-JK dalam pilpres.

Lalu mengapa soal agama Ahok itu kini menjadi soal yang seolah serius? Ada banyak faktor. Pertama, isu itu berpadu dengan faktor negatif Ahok sehingga menimbulkan resonansi yang nyaring. Kedua, faktor ini sengaja ada yang memainkan untuk keuntungan kandidat tertentu. Bisa dari kubu Ahok sendiri, bisa juga dari kubu lain. Kok kubu Ahok? Ya. Isu sentimen agama dalam politik Indonesia, apalagi Jakarta, tak selalu menguntungkan bagi kontestan muslim. Bangsa ini secara umum lebih menyukai inklusivitas dan toleransi. Secara natural itu sudah menjadi jiwa bangsa Indonesia sejak awal, jauh sebelum masuknya agama Hindu, Buddha, Islam, maupun Kristen. Pada sisi lain, pemilih yang menolak ahok berdasarkan agama sudah dari awal sudah tak akan memilih Ahok. Sehingga isu ini tak bermanfaat untuk dihembuskan menyerang Ahok. Memang ada harapan untuk swing voters yang belum mengambil keputusan. Tapi pemilih ini secara umum lebih menyukai pilihan yang menjadi kecenderungan umum ataupun pemilih rasional. Pemilih rasional tentu tak berpreferensi agama. Pemilih yang ikut tren juga menyukai yang fun. Seperti kemenangan Jokowi pada Pilpres 2014 yang ditentukan Konser Dua Jari. Jadi isu agama hanya memberikan keuntungan yang sedikit untuk lawan Ahok. Karena itu diksi yang banyak digunakan tim kampanye Ahok adalah NKRI, pluralisme, dan jangan SARA. Namun ketakpahaman juga banyak menyelimuti orang-orang yang emosional. Juga ada faktor emosi yang mudah tersulut.

Pada sisi lain, di sejumlah daerah lain, yang mayoritas beragama Islam, juga terdapat kepala daerah yang beragama Kristen. Partai-partai berideologi dan berbasis massa Islam juga biasa mengusung kandidat nonmuslim. Karena itu faktor agama, bukanlah faktor dominan. Bahwa masih ada sebagian kecil masyarakat yang masih mengukuhi hal itu tentu saja tak dipungkiri. Kita tak bisa menyuruh orang untuk seragam. Di Amerika Serikat pun kampanye semacam itu dilakukan. Contohnya saat Barack H Obama maju sebagai kandidat presiden. Ayahnya yang muslim diungkit. Nama tengahnya yang Husein dituduhkan bahwa Obama beragam Islam. Bahkan ia sempat dituduh sekolah madrasah saat tinggal di Indonesia. Padahal dia sebentar sekolah di sekolah negeri, dan lebih lama di sekolah Kristen di Jakarta. Itulah realitas masyarakat yang majemuk dan realitas politik yang keras.

Namun pada titik ini justru Ahok memasukinya. Inilah petikan transkrip pidatonya di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, pada 27 September lalu: “Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak-Ibu gak bisa pilih saya. Ya kan dibohongin pake surat Al Maidah 51 macem-macem itu...(hadirin tertawa). Itu hak Bapak-Ibu, ya. Jadi Bapak-Ibu perasaan gak bisa pilih nih karena 'saya takut masuk neraka'...dibodohin itu...ngga papa. Karena itu panggilan pribadi Bapak-Ibu.”

Sehari kemudian, pada 28 September, sudah muncul berita ada pengaduan ke Bawaslu tentang ucapan Ahok tersebut. Di Youtube, pada 28 September itu, ada yang mengunggah berita dari TV Beritasatu yang berisi tanggapan Ahok terhadap semua itu. Ahok membantah bahwa itu sebagai pelecehan. “Semua orang boleh mengutip kitab suci. Kitab suci terbuka untuk umum,” katanya. Bahkan Ahok menyatakan bahwa Alquran dipertandingkan lewat MTQ. “Dipertandingkan lagi. Dapat hadiah lagi. Melecehkan tidak?” katanya.

Ahok merasa tak ada kekeliruan dari pidatonya. Ia tak merasa bersalah, bahkan bicaranya melebar ke MTQ. Hal itu juga dilakukan para pendukungnya lewat media sosial. Mereka bukan hanya membela Ahok tapi juga menyerang pihak yang berbeda. Sudah menjadi ciri sosmed dan cyber army untuk bersifat agresif, memaki, dan menghina. Ini karena media sosial bersifat kerumunan dan kental dengan watak membully. Apalagi banyak akun-akun anonim dan robot, juga spin yang mengulas di luar substansi.

Benar sekali bahwa mengutip Alquran atau kitab suci apapun bebas. Namun yang menjadi soal adalah penilaian bahwa itu “dibohongin” dan “dibodohin” dengan menggunakan Al Maidah ayat 51. Adanya perbedaan tafsir bukan berarti yang satu berbohong atau membodohi dan yang lain benar sendiri. Tidak. Dua-duanya atau bahkan tiga-tiganya, empat-empatnya, dan seterusnya adalah benar. Itulah norma yang berlaku di dalam Islam. Apalagi ada yang menafsirkan kalimat Ahok itu sebagai dibohongi dan dibodohi oleh Al Maidah ayat 51 itu sendiri. Jika yang pertama adalah menafikan tafsir lain sebagai kebohongan dan pembodohan, maka yang kedua ini lebih berat lagi karena Al Maidah ayat 51 itu sebagai kebohongan dan pembodohan. Dua tafsir dari kalimat Ahok itulah yang berkembang di masyarakat. Karena itu wajar jika hal itu menimbulkan riak yang keras. Tak hanya dari awam tapi juga dari ulama dan institusi resmi MUI melalui sikap yang resmi pula.

Karena ini sudah masuk wilayah politik, maka para pihak pendukungnya melakukan pembelaan. Inilah dampak serius dari pidato Ahok tersebut. Terjadi saling serang di level sosial. Kita bersyukur kemudian Ahok meminta maaf, walau cukup terlambat. Pidato tanggal 27 September, esoknya sudah ada reaksi keras, namun baru minta maaf pada tanggal 10 Oktober. Permintaan maaf itu dilakukan melalui wawancara doorstop dengan wartawan.

Inilah petikan pernyataan Ahok tersebut: “Saya sampaikan kepada semua umat Islam ataupun orang yang merasa tersinggung, saya sampaikan mohon maaf. Tidak ada maksud saya melecehkan agama Islam atau Alquran.”

Ia juga mengatakan, “Saya dari kecil...kamu bisa lihat...bukan kita mau riya gitu ya...sekolah-sekolah Islam kita bantu izin berapa banyak selesaikan izin, termasuk KJP untuk madrasah, termasuk kita bangun masjid. Kamu bisa lihat tindak-tanduk saya ada nggak musuhin Islam, ada nggak pengen melecehkan Alquran. Makanya saya minta maaf untuk kegaduhan ini.”

Ia melanjutkan, “Saya pengalaman saya dari 2003 selalu mengalami selebaran seperti ini. Makanya saya lumayan hapal.” Ia mengatakan, “Untuk semua pihak yang jadi repot, gaduh, gara-gara saya, saya sampaikan mohon maaf... Jangan ngomongin tafsiran-tafsiran agama yang sensitif, karena sesama agama yang sama pun bisa menafsirkannya berbeda. Ya sudah saya minta maaf untuk itu.”

Padahal jika melihat data survei, jelas sekali dukungan umat Islam ke Ahok sangat kuat. Berdasarkan data Lingkaran Survei Indonesia (LSI), 27,7 persen pemilih Islam memilih Ahok. Sedangkan Anies hanya dipilih 22,8 persen dan Agus cuma 20,6 persen pemilih muslim. Masih ada 28,9 persen pemilih muslim yang belum mengambil keputusan. Mari bandingkan dengan pemilih nonmuslim. Mayoritas mereka terserap di Ahok, yaitu 83,3 persen. Bandingkan dengan Anies dan Agus yang masing-masing cuma kebagian 2,8 persen dan 3,2 persen. Hanya 10,7 persen nonmuslim yang belum menentukan pilihannya.

Data Populi juga mirip. Ahok didukung pemilih muslim. Ia meraih 42,5 persen. Sedangkan Anies dan Agus masing-masing kebagian 25,3 persen dan 16,8 persen. Adapun pemilih Protestan dan Katolik terserap ke Ahok yaitu 80 persen dan 82 persen. Untuk pemilih Protestan dan Katolik masing-masing 0 persen dan 11,8 persen untuk Anies, serta 10 persen dan 0 persen untuk Agus. Pemilih muslim masih ada 13,2 persen yang belum memutuskan, sedangkan untuk Protestan dan Katolik masing-masing 5 persen dan 0 persen yang belum bersikap.

Dalam politik, sesuatu yang wajar jika minoritas cenderung solid dalam menyerahkan suaranya. Hal ini terjadi di banyak negara. Tapi data itu juga menunjukkan bahwa Ahok selalu mendulang suara tertinggi dari pemilih muslim dari dua survei tersebut. Ini menunjukkan Ahok bisa diterima oleh muslim, tapi juga sekaligus memperlihatkan sikap inklusif dan plural muslim sudah menjadi bagian inheren dalam nilai-nilai muslim. Jika ada sebagian kecil yang berpendapat di sisi ujung tentu wajar dalam suatu masyarakat. Namun mereka bukan Geert Wilders atau Donald Trump yang merupakan tokoh politik resmi dan di pucuk pimpinan nasional di negaranya masing-masing.

Kebesaran jiwa, kerelaan hati, kejujuran, dan bersikap lembut hati dalam melihat perbedaan harus menjadi watak dasar pemimpin bangsa dan negara. Satu orang saja pemimpin yang tidak bisa mengontrol kata-katanya bisa berdampak luas di tingkat akar rumput. Kita berharap bahwa norma demokrasi, inklusivitas, dan nondiskriminasi menjadi watak dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

© 2015 republika.co.id - All Rights Reserved.

Mencipta Predator untuk FPI

Mencipta Predator untuk FPI
Oleh: Nasihin Masha.

Republika Online | Friday, 20 January 2017 | 06:00 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, FPI, ormas yang kontroversial. Sikapnya jelas dan tegas. Jika diganggu melawan. Jika ada yang dinilai melanggar hukum tapi aparat membiarkan maka mereka yang akan bertindak. Mereka juga satu-satunya ormas yang paling galak terhadap komunisme.

Habib Rizieq Syihab adalah imam organisasi ini. Ceramahnya selalu pedas, dengan kata-kata yang hiperbolis, kasar, dan tanpa tedeng aling-aling. Ia memilih nahi munkar [saja] daripada amar ma'ruf atau amar ma'ruf nahi munkar.

Ia selalu menyatakan biarkan ulama lain yang menanam, dia yang mencabuti rumput dan membasmi hamanya. Saat beraksi, FPI selalu menggunakan uniform yang khas FPI: pakaian putih-putih, serban hijau, penutup kepala putih, bendera FPI, dan bahkan logo FPI di pakaiannya.

Di masa SBY, Rizieq dua kali masuk penjara. Munarman yang menjadi panglima FPI juga pernah masuk penjara. Orang-orang lapangan FPI adalah masyarakat kelas bawah, bahkan ada yang mantan preman. Markasnya pun di Petamburan, kawasan Tanah Abang.

Ini termasuk wilayah slum. Karena itu FPI sering dikonotasikan dengan dunia abu-abu. Seperti perumpamaan dirinya sebagai pembersih gulma dan pembasmi hama, sebagian orang juga menyebut FPI sebagai gulma dan hama itu sendiri.

Buya Syafii Maarif, mantan ketua umum PP Muhammadiyah, menyebutnya sebagai preman berjubah. Bisa jadi ini karena cara FPI membersihkan gulma dan hama itu sendiri. Atau bisa jadi karena ada ekses atau bahkan ada sesuatu yang tersembunyi, dunia di balik panggung.

Tentu ada orang-orang yang bisa bercerita karena pernah menjadi korban FPI. Ada pula yang mengaitkan FPI dengan sejumlah jenderal polisi dan tentara. Jadi semacam proksi saja dalam konfigurasi kepentingan percaturan elite nasional.

Namun FPI juga dikenal cepat dan militan saat membantu korban bencana alam. Tuntutan untuk membubarkan FPI nyaring terdengar. Namun hingga kini FPI tetap hadir. Ada orang-orang yang merasa terwakili oleh FPI.

Ini karena segala penyakit masyarakat yang jelas-jelas terlihat tak juga ditertibkan aparat karena ada kongkalikong. Tokoh-tokoh dan ormas-ormas mainstream juga mandul. Jika jalan utama mampet, maka jalan tikus akan muncul, bahkan jalan melawan arus.

Kini, tiba-tiba FPI dan Rizieq seolah menjadi pusat pergerakan Islam. Pemerintahan saat ini yang tak pandai menjaga keseimbangan telah melahirkan kekecewaan umat Islam. Partai-partai berbasis massa dan berideologi Islam sudah lama hanya menjadi pelengkap.

Ormas-ormas Islam //mainstream// terlalu asyik dengan gerbongnya sendiri dan menjadi buntut dalam pengambilan keputusan negara, termasuk untuk kasus Ahok. Akibatnya saluran-saluran formal menjadi mampet dan tak berdaya.

Satu-satunya jalan adalah aksi massa. Dalam langgam kekuasaan saat ini yang cenderung keras terhadap lawan-lawan politik, banyak orang yang jerih untuk bersuara. Maka gaya Rizieq dan FPI menjadi relevan untuk berada di pusat.

Pada sisi lain, yang memiliki massa terlatih dalam gerakan massa hanyalah FPI. Organisasi ini sudah memiliki prosedur baku dalam gerakan massa, bahkan memiliki mobil khusus untuk demonstrasi.Ada massa inti, ada keresahan umum. Klop.

Upaya memecah sudah dilakukan. Hal itu terjadi pada aksi 411. Upaya untuk menyisir juga sudah dilakukan, yaitu sebelum aksi 212. Tokoh-tokoh dan ormas-ormas mainstream sudah didekati. 'Iklim takut' sudah pula dibuat via produksi wacana makar dan ditunggang aktor politik.

Tapi massa yang sangat sebagian besar bukan massa FPI tetap hadir, bahkan lebih besar. Kini, pertarungan itu sudah masuk ke tahap berikutnya. Seperti singa mengincar mangsa: pisahkan dari kerumunan. Lalu kejar dan terkam. Itulah yang kini sedang terjadi pada Rizieq.

FPI dan Rizieq terus diupayakan dipisah dari massa. Bagi orang-orang yang tak suka, FPI adalah hama dan gulma. Hama harus dibasmi, gulma harus dibersihkan. Caranya? Semprot dengan racun pestisida. Jika ada dugaan pelanggaran hukum, maka sikat tanpa ampun.

Agar kerumunan yang lain diam, maka harus dibangun wacana bahwa FPI adalah hama dan gulma. Secara kebetulan, menjelang pemeriksaan Rizieq di Polda Jawa Barat, Tengku Zulkarnain diundang untuk berceramah di Sintang, Kalimantan Barat.

Rupanya massa berpakaian etnis tertentu sudah menunggu. Mereka membentangkan spanduk menolak kedatangannya. Mereka tak menyebut nama, tapi di situ tertulis jelas menolak FPI. Inilah prosekusi dan propaganda. FPI adalah hama dan gulma.

Padahal Tengku Zulkarnain bukan FPI. Dai berdarah Tionghoa ini adalah aktivis Jamaah Tablig. Organisasi ini nonpolitik.Di provinsi lain, ada pula ormas yang memburu FPI dan pengikutnya. Mereka melakukan sweeping dan menghajar mobil ataupun orang-orang yang diduga FPI.

Mereka berseragam dan tertulis jelas nama organisasinya. Organisasi ini memiliki pembina seorang jenderal polisi. Apa yang terjadi di dua provinsi ini menunjukkan pola baru. Tak cukup menyemprotkan racun, tapi juga ibarat melepas predator.

Situasi ini tentu mengerikan. Hama dilawan hama. Massa diadu massa. Saat ini muncul tuduhan bahwa pencipta predator itu adalah negara itu sendiri. Tak hanya mencipta tapi juga melepaskannya untuk memangsa. Tentu ini memerlukan pembuktian tersendiri, dan pasti tak mudah, walaupun indikasinya sangat kuat.

Pola ini menunjukkan keputusasaan, rendahnya moralitas bernegara, pendeknya akal, dan tentu saja melanggar hukum. Mestinya negara bertindak jika ada hama, bukan melepas predator untuk saling tikam. Namun dalam negara kekuasaan, semua itu kini sedang terjadi.

Padahal Indonesia adalah negara hukum. Lalu mengapa semua itu berlangsung lancar-lancar saja? Bahkan kaum cerdik pandai dan parlemen diam. Apakah Indonesia sudah menjadi negara kekuasaan? Kita hanya bisa menunggu babak selanjutnya.

Indonesia sedang memasuki periode peradaban terendah dalam sejarah bangsa ini. Tak ada wacana, tak ada moral. Semua hanya soal kekuasaan dan uang. Semua fokus pada jangka pendek. Mengelola negeri seperti bermain catur: makan memakan, mati mematikan.

© 2015 republika.co.id - All Rights Reserved.

Revolusi Putih 8

Menuju Persatuan Santri yang Ketiga ('Revolusi' Putih 8)
Oleh: Nasihin Masha.

Kolom Resonansi.
Republika Online | Friday, 06 January 2017 | 06:00 WIB

Santri tak mampu bersatu. Ditakdirkan untuk bercerai-berai dan menjadi buih peradaban. Karena itu, walau santri merupakan mayoritas di Indonesia, tak pernah menjadi kepala dan selalu puas menjadi 'ekor macan'. Bahkan untuk bersikap pun tak. Namun tunggu dulu!

Pada 1937, umat Islam mendirikan wadah bersama Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI). Organisasi ini semacam konfederasi 13 ormas Islam. Pucuk pimpinan utamanya dari NU, Muhammadiyah, dan Syarikat Islam.

Pada 1943 Jepang membubarkan MIAI dan menggantinya dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) - oleh Yusril Ihza Mahendra nama Masyumi ini dinilai lebih akrab di telinga orang Jepang, seperti Mayumi nama orang.

Namun, menjelang pemilu 1955, Masyumi pecah. NU mendirikan partai sendiri, demikian pula Syarikat Islam dan Perti. Lain-lainnya tetap bergabung dalam Masyumi. Walau sudah terpecah, pemilih santri tetap terkonsolidasi dengan baik dan hanya terbagi ke Masyumi dan NU.

Pada masa kini, semua itu seolah menjadi masa lalu. Semenjak Orde Baru, persatuan Islam seolah menjadi kemustahilan. Sehingga hampir-hampir tak ada mimpi lagi menyatukan umat. Di masa reformasi, tak ada partai santri yang menjadi partai papan atas.

Semuanya masuk di papan tengah. Namun, tiba-tiba, hasil Pemilihan Presiden 2014 mulai menyadarkan sebagian pihak. Inilah untuk kali pertama pemilih santri relatif terkonsolidasi ke dalam satu pilihan, mungkin sekitar 80 hingga 90 persen.

Mereka umumnya memilih pasangan Prabowo-Hatta. Sedangkan sebagian lagi, pemilih santri memilih Jokowi-Kalla. Inilah kali pertama sejak Orde Baru pemilih santri relatif terkonsolidasi. Namun, kenyataan ini masih dianggap kebetulan.

Apalagi, yang menyatukan adalah Prabowo, bukan figur santri. Keluarganya pun lebih banyak non-Muslim, ini karena ibunya non-Muslim. Bahkan pada masa kampanye sering dibandingkan Jokowi yang dinilai lebih Islami.

Hal itu dipertontonkan dengan baik: Jokowi menjadi imam shalat, umrah menjelang hari pencoblosan. Bahkan ada yang bilang bila perlu adu membaca Alquran antara Jokowi dan Prabowo. Sang pengusul yakin Jokowi yang menang.

Persatuan santri kembali terjadi. Kali ini dipicu kontroversi al-Maidah ayat 51 yang disampaikan Ahok. Kali ini yang menyatukan tokoh-tokoh yang tergabung di GNPF MUI. Aksi 411 dan 212 menjadi saksi sejarah bersatunya santri.

Beragam latar belakang keagamaan, dari garis keras hingga dan tentu saja yang terbanyk adaalah orang-orang berpandangan keagamaan moderat tumplak di depan Istana dan Monas.

Mereka adalah orang-orang tua hingga generasi muda, dari laki-laki maupun ibu-ibu, dari rakyat jelata hingga kelas menengah. Semuanya mengambil sikap yang sama: Aksi Bela Islam. Inilah persatuan yang kedua. Namun, terus ada penyangkalan.

Sikap akar rumput ini coba dinegasikan dengan dibenturkan realitas di elitenya. Ya, penggerak aksi bukanlah dari ormas-ormas arus utama. Elite ormas arus utama menjadi gagap. Sudah menjadi tabiat kaum di zona nyaman selalu lambat merespons kenyataan di akar rumput.

Terlalu banyak pertimbangan, kepentingan, dan terlalu besar gerbong yang harus dibawa. Bahkan ekstremnya, sudah terlalu sering menjadi bagian kemapanan, walaupun menjadi buntut macan belaka.

Karena itu, respons terhadap tuntutan perubahan akan mudah ditangkap oleh orang-orang yang berada di luar zona nyaman. Hanya saja, Rizieq Syihab menghadapi kendala tak enteng.

Rekam jejaknya sebagai pimpinan tertinggi FPI sebagai organisasi nahi munkar dengan cara keras -bukan hanya kata-kata tapi juga fisik- membuat langkah ke depannya tak mudah.

Karena dia yang berada di pucuk tertinggi maka Bachtiar Nasir dan M Zaitun Rasmin berada dalam lingkup aura tersebut. Titik lemah ini yang terus dieksploitasi pemerintah dan orang-orang yang tak menyukainya. Bukan hanya diterjang melalui opini tapi juga melalui upaya hukum.

Selain itu, mereka juga dihadapkan pada tantangan lain. Mereka harus mampu merumuskan isu lebih luas, lebih inklusif, dan lebih konkret tentang problem kebangsaan, ekonomi, dan problem sosial.

Jika mereka gagal lolos dari sergapan opini dan hukum serta dari visi yang lebih luas, maka gerakan mereka hanya berhasil pada isu Ahok semata.

Padahal tuntutan publik adalah tentang masa depan Indonesia dalam hal pemerataan ekonomi, perbaikan kehidupan politik, dan pergaulan sosial yang lebih bermartabat. Dalam situasi yang demikian maka akan lahir persatuan yang ketiga.

Seperti yang sudah saya jelaskan dalam resonansi sebelumnya, bahwa lahirnya gerakan ini merupakan suatu keharusan sejarah karena lahirnya generasi baru. Generasi santri yang telah sekolah di masa Orde Baru dan berhasil mencapai mobilitas sosial yang lebih baik.

Mereka menuntut peran yang lebih luas. Generasi ini berbeda dengan generasi santri yang bersekolah setelah kemerdekaan. Generasi santri pertama ini berasal dari kelas menengah, sedangkan generasi santri kedua ini berlatar belakang yang lebih beragam, terutama dari kelas bawah yang kini telah mengalami perbaikan sosial ekonomi.

Generasi pertama inilah yang kemudian melahirkan ICMI, sehingga wajar jika organisasi kaum cendekiawan ini bersifat elitis. Selain sumber dayanya masih terbatas, juga karena mereka memang berlatar belakang kaum elite santri.

Sedangkan generasi santri kedua ini benar-benar berasal dari akar rumput, sehingga bersifat masif. Persatuan santri kali ini merupakan kehendak akar rumput, bukan kehendak elite seperti masa MIAI. Karena itu, elite santri sangat gagap dalam menghadapi 411 dan 212.

Perlu dicatat, kelahiran ICMI adalah enam tahun setelah Tragedi Priok (1984). Tuntutan perubahan itu ditangkap pertama kali oleh orang-orang dari garis keras juga. Tragedi itu menyadarkan kaum moderat, mereka tak boleh diam dan harus mengambil alih prakarsa perubahan.

Apakah kaum moderat kembali akan mengambil alih prakarsa perubahan dan berhenti menjadi buntut macan? Apakah prakarsa itu akan mencuat setelah ada tragedi terlebih dahulu? Tentu masih banyak pertanyaan lain yang bisa kita ajukan.

KH Ahmad Dahlan serta duet KH Hasyim Asy'ari dan KH Wahab Chasbullah adalah figur-figur visioner. Mereka bisa mengambil prakarsa atas dasar keyakinan dan panggilan jiwa. Dari situlah lahir Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.

Dua ormas inilah yang kini menjadi perahu besar para santri. Apakah generasi baru Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama mampu menangkap denyut tuntutan perubahan akar rumputnya tentang perluasan peran di bidang sosial dan ekonomi? Atau?

Seorang sejarawan terkemuka menulis, pada masa lalu, rakyat Jawa bisa menjadi warga kerajaan lain jika rajanya lalim. Kekuasaan kerajaan-kerajaan di Jawa masa lalu bukan hanya terletak pada penguasaan teritori, tapi juga pada kepatuhan manusianya.

Jika rajanya lalim, mereka bisa bermigrasi ke kerajaan lain. Konversi masif manusia Jawa menjadi Muslim adalah karena orang-orang Islam yang memimpin pemberontakan terhadap penjajahan Barat.

Mereka menderita akibat penjajahan. Begitu juga konversi masif manusia Jawa ke dalam Kristen adalah setelah tragedi G30S/PKI, terutama di Jawa Tengah. Aksi balas dendam terhadap PKI oleh sebagian kalangan Islam membuat para pengikut PKI menjadi Kristen.

Kini, gejala serupa mulai bermunculan. Problem sosial ekonomi yang menimbulkan friksi politik membutuhkan respons baru dari generasi santri masa kini. Manusia Indonesia memiliki independensinya tersendiri dalam menghadapi tantangan zaman.

Mereka bisa dengan mudah menanggalkan baju lamanya begitu saja jika dianggap tak cocok lagi. Mampukah pemimpin Islam moderat memandu desakan perubahan ini dan berhenti menjadi 'buntut macan'? Bukankah sungguh tak nyaman menjadi pemadam kebakaran?

Revolusi Putih 7

Diam Bagai Gunung Berapi (‘Revolusi’ Putih 7).
Oleh: Nasihin Masha

Kolom Resonansi.
Republika Online | Jumat, 30 Desember 2016 | 06:00 WIB

Dua petinggi negara pemegang otoritas penting mengadakan pertemuan dengan sejumlah orang. Pejabat pertama mengatakan bahwa aksi 411 dan 212 itu merupakan wake up call radikalisme Islam di Indonesia, sambil menegaskan bahwa komunisme sudah bukan ancaman lagi bagi Indonesia. Pejabat kedua menyebutkan bahwa semua rentetan itu merupakan bagian dari tahapan menuju kehancuran seperti yang menimpa Suriah. Dua kesimpulan dari dua pejabat itu sangat mengerikan. Bukan ngeri terhadap kesimpulannya, tapi ngeri terhadap kemampuannya menyimpulkan.

Dengan segala otoritas yang dimiliki, dengan segala sumberdana yang diberikan, dengan daya dukung kelembagaan dan sumberdaya manusia yang ada, semestinya mereka mampu menghimpun data secara lebih detil dan dalam. Mereka hanya fokus pada FPI dan MMI saja. Mereka juga hanya mengambil pernyataan-pernyataan yang sesuai untuk sampai pada kesimpulan itu. Cara menyimpulkan seperti ini sangat khas penguasa yang defensif. Jika hendak objektif, ada dua isu utama dari kejadian tersebut yaitu ada masalah dengan sila ketiga dan sila kelima Pancasila: persatuan dan keadilan sosial.

FPI dan MMI tak akan mampu menghimpun massa begitu banyak. Penyebutan FPI karena ada Rizieq Syihab dan Munarman. Sedangkan MMI karena ada Muhammad Al Khatthath. Tapi Al Khatthath bukanlah figur dominan pada gerakan itu. Yang lebih dominan adalah Bachtiar Nasir dan M Zaitun Rasmin serta jaringan ustaz muda. Keduanya jelas bukan FPI dan MMI. Karena itu, jika hanya FPI dan MMI maka paling banter mereka hanya mampu mengerahkan kurang dari sepuluh ribu orang. Lalu mengapa bisa hadir begitu banyak? Pemimpin itu seperti seorang sales marketing. Jika bisa membuat produk yang diterima umum, dipasarkan dengan cara yang tepat, dikemas dengan baik, dan memiliki jaringan pemasaran yang bagus maka produk itu akan laris di pasar.

Kesimpulan dua petinggi itu sebenarnya tak melulu mewakili pandangan pemerintah. Karena ada satu petinggi lain yang mencoba menetralisir dengan cara yang sangat halus. Intinya dia mengatakan bahwa agar proporsional dalam menangkap kejadian tersebut agar sampai pada kesimpulan yang objektif. Namun pandangan dua petinggi itu tampaknya yang akan dioperasionalkan menjadi tindakan-tindakan pemerintah. Walau aksi 212 diikuti oleh massa yang lebih banyak dan lebih damai dibandingkan dengan aksi 411, sebetulnya upaya penetrasi pemerintah ke ormas-ormas Islam utama dan ke tokoh-tokoh Islam utama relatif berhasil. Karena itu aksi 212 tak diikuti oleh unsur yang lebih banyak dibandingkan dengan aksi 411.

Pernyataan dua petinggi tersebut merupakan kelanjutan belaka dari ‘keberhasilan’ mensortir pihak-pihak pada aksi 212. Dengan cara itu maka diharapkan gerakan ini akan mengecil dan menyisakan FPI dan MMI. Akhirnya kesimpulan bahwa 411 dan 212 sebagai wake up call radikalisme mendapatkan legitimasinya. Kesimpulan ini sebetulnya sangat mirip dengan suara-suara netizen yang sejak awal mencoba menghadang gerakan GNPF MUI di dunia maya. Namun upaya itu gagal. Dunia maya dikalahkan oleh dunia nyata. Penyangkalan di realitas cyber berhenti di hadapan realitas sosial. Upaya mengakomodasi elite dianggap angin lalu oleh akar rumput. Gerakan 411 dan 212 bukan semata soal Ahok, tapi ada perasaan umum ketidakpuasan publik. Inilah energi yang sesungguhnya. Ada perubahan sosial yang menuntut perubahan ekonomi dan politik.

Namun, apapun, upaya penyortiran dan penyisiran yang diikuti stigmatisasi dan politik kata-kata lainnya menghadirkan satu pertanyaan, apakah gerakan 411 dan 212 itu akan punah?

Mari kita lihat fakta-fakta ini. Penangkapan banyak orang yang diduga terlibat penggerebekan sebuah kafe di Solo. Pengaduan dugaan penistaan agama terhadap Rizieq Syihab. Respons aparat terhadap akun sosmed yang menyebutkan bantuan sebuah lembaga kemanusiaan dari Indonesia yang diduga ditujukan ke pemberontak Suriah – lembaga kemanusiaan itu disebut-sebut dipimpin oleh Bachtiar Nasir. Rumor penghadangan terhadap Rizieq yang akan ke Medan. Pemeriksaan pemilik bus yang membawa rombongan aksi 212. Secara simetris juga ada fenomena rutin tahunan setiap menjelang Natal: penangkapan terduga teroris. Berita seperti ini yang bertubi-tubi bisa membangun persepsi tertentu. Bisa melumerkan ataupun bisa makin mengkristalkan keadaan.

Pada sisi lain, eksponen 411 dan 212 juga memelihara stamina publik dengan mengadakan roadshow ke berbagai daerah di Indonesia. Sedangkan di kubu sebelah makin jelas terlihat bisik-bisik melawan gerakan 411 dan 212 dengan kata-kata “at all costs” akan dihadapi. Dua pihak sudah on fire. Kita berharap tak terjadi ‘Tragedi Priok Jilid II’. Tragedi 1984 itu juga diawali ketidakpuasan santri terhadap keadaan. Lalu dihadapi dengan stigmatisasi “ekstrem kanan”. Hal itu tak membuat surut namun justru makin mengeras dan berujung pada tragedi berdarah.

Menyebut tragedi 32 tahun lalu bukan hendak menakut-nakuti apalagi memanas-manasi. Tapi justru kita harus belajar dari sejarah. Jika tidak ada upaya khusus maka arus sosial itu mengalir secara begitu saja. Arus sosial itu seperti api dalam sekam, seperti magma di perut gunung: hidup menghimpun energi. Seperti kata Iwan Simatupang, sastrawan: tidak ada masyarakat yang diam.

Revolusi Putih 6

Keharusan Persistensi Ideologis (‘Revolusi’ Putih 6)
Oleh: Nasihin Masha

Kolom Resonansi.
Republika Online | Jumat, 23 Desember 2016 | 06:00 WIB

Perjuangan bukanlah soal kalah atau menang. Tapi konsistensi pada nilai-nilai yang diperjuangkan. Nanti zaman yang akan menghampiri mengantarkan kemenangan.

Salah satu kritik terhadap partai-partai atau ormas-ormas Islam dalam sepuluh tahun terakhir ini adalah kegagalan melahirkan kader-kader yang berkualitas. Kritik itu layak dikemukakan. Bukan hanya ditujukan kepada politisi dan aktivis, tapi kepada semua stakeholder umat, terutama tokoh dan intelektual muslim. Karena ini sebetulnya bukan soal ketiadaan, tapi karena kandidatnya tidak terwadahi. Dengan demikian mereka menjadi penumpang di wadah milik pihak lain. Atau bahkan tak bisa mencuat. Jadi ini lebih pada kegagalan kelembagaan. Bahkan orang yang pas-pasan bisa menghasilkan kinerja optimal jika didukung lembaga yang tangguh.

Saat ini banyak sekali kader umat yang berkualitas. Mereka tak bisa muncul karena salurannya mampet. Atau memilih mencari saluran yang bukan milik umat sehingga kemandiriannya terhambat. Namun demikian, orang-orang yang mencari jalan sendiri ini tetap mampu berkiprah optimal kendati harus berkompromi. Tentu yang ideal adalah mememilih saluran yang sesuai.

Ada satu musuh utama dari kegagalan ini: pragmatisme. Awalnya adalah dibubarkannya Masyumi di masa Orde Lama. Lalu tidak bisa dipulihkan di masa Orde Baru. Bahkan tokoh-tokoh utama Masyumi tak bisa pula berkiprah di wadah baru. Selalu dijegal oleh Orde Baru. Bukan hanya M Roem, bahkan Djarnawi Hadikusumo pun tak bisa. Setelah itu mereka menyebar di mana-mana, termasuk mendirikan organisasi dakwah – salah satunya Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Parmusi atau Muslimin Indonesia berisi figur-figur yang relatif direstui Orde Baru belaka. NU yang berkoalisi dengan Orde Lama masih bisa mengkonsolidasikan diri. Karena itu di masa Orde Baru tetap solid. Soliditas itu sangat kentara dalam kiprahnya di parlemen lewat PPP maupun saat kampanye pemilu. Namun perlahan tapi pasti, NU dipreteli. Orde Baru giliran menghadang tokoh-tokoh NU. Akhirnya, dua sayap politik umat tak bisa bergerak leluasa. Sejak itu pragmatisme menjadi ciri utama gerakan politik Islam Indonesia. PPP bukan pilihan utama, tapi sudah menyebar ke Golkar. Dampak dari pragmatisme adalah ketidakmampuan mengkonsolidasi diri.

Hal itu paling tampak di masa reformasi. Saat pemilu 1955, pemilih santri hanya memiliki dua saluran utama, yaitu Masyumi dan NU. Bahkan dari empat partai teratas, Masyumi menjadi satu-satunya partai yang tingkat keterwakilan Nusantara-nya terbaik. Partai besar lain seperti PKI dan PNI lebih terpusat di Jawa. Namun pada pemilu masa reformasi, semua partai santri masuk papan tengah. Partai papan atas dikuasai PDIP, Golkar, bahkan kemudian oleh partai baru, yaitu Demokrat dan Gerindra. Pemilih santri tetap mengikuti alur di masa Orba, yaitu ke Golkar dan rumpunnya – Demokrat dan Gerindra. Di sini menunjukkan bahwa partai-partai santri gagal mengkonsolidasi pemilihnya.

Situasi ini koheren dengan perilaku partai-partai tersebut. Mereka selalu menjadi pelengkap partai-partai berkuasa untuk duduk di pemerintahan. Siapapun presidennya, mereka selalu duduk di pemerintahan. Apapun ideologi atau sekadar warna sekalipun dari pemerintah, partai-partai santri selalu menjadi pengikutnya. Pragmatisme politik partai-partai santri ini makin memperpuruk keadaan. Apalagi kemudian ikut-ikutan korupsi maka mereka sebagai pihak yang lemah akan menjadi sasaran yang empuk untuk dikorbankan. Padahal korupsi terbesar sudah pasti dilakukan oleh orang-orang atau pihak-pihak yang lebih besar – era reformasi adalah era korupsi gigantis, lupakan KPK.

Partai-partai santri harus belajar dari partai-partai di negara-negara lain yang konsisten di jalur ideologisnya. Yang paling fenomenal saat ini adalah Baratiya Janata Dal, partainya Narendra Modi di India. Partai ini relatif tak pernah menang, namun pada pemilu terakhir bisa menang mutlak. Mereka mengalahkan Partai Kongres yang hampir selalu memerintah negeri ini. Baratiya adalah partainya orang miskin dan didukung kaum agama Hindu. Modi yang dari keluarga miskin memilih hidup selibat atau tidak menikah, sesuai dengan tradisi Hindu. Globalisasi yang sedang memasuki puncak anomali memaksa negara-negara dan bangsa-bangsa beradaptasi. Zaman berpihak pada Baratiya yang nasionalistik.

Di Amerika Serikat selalu memperhadapkan dua partai yang berbeda warna. Republik adalah partai konservatif dalam moral berlandaskan nilai-nilai Kristen, liberal dalam bisnis, dan nasionalistik dalam hubungan internasional. Sedangkan Demokrat adalah partai yang liberal dalam moral, lebih pro kesejahteraan sosial, dan berwawasan mondial dalam hubungan internasional. Di masa anomali ini, wajah Republik sangat terwakili pada figur Trump. Kendati memalukan bagi negara adidaya namun Trump benar-benar mewakili garis ideologis bangsa Amerika Serikat. Situasi itu juga bisa dilihat pada persaingan Partai Buruh dan Partai Konservatif di Inggris atau Partai Buruh dan Partai Liberal di Australia. Partai selalu persisten dalam garis ideologisnya. Hal ini membuat mereka mudah mengkonsolidasi pemilih karena ada proses identifikasi dan membuat mereka juga mudah melakukan rekrutmen dan seleksi kader.

Watak politik dan pemilih santri di Indonesia akan selalu memiliki sejumlah ciri mencolok: proteksionistik dalam isu ekonomi, mengejar pemerataan dan keadilan sosial, konservatif dalam moral, nasionalistik dalam hubungan internasional, dan konsisten dengan nilai-nilai demokrasi dan kemodernan. Hal itu bisa dilihat pada wajah pemerintahan Natsir, Habibie, bahkan Gus Dur – walau semuanya berlangsung singkat dan selalu dijatuhkan.

Aksi Bela Islam yang diinisiasi GNPF bisa menjadi titik picu bagi hadirnya musim semi kebangkitan politik santri. Hal ini harus menjadi kesadaran para pimpinan GNPF dan partai-partai santri. Jika gagal mengkapitalisasi dan menjaga ruh 411 dan 212 maka semua itu bagai semburat pelangi di sore hari. Indah dikenang, enak dilihat, namun segera lenyap seiring surutnya matahari, lalu gelap lagi. Fenomena 411 dan 212 merupakan perpaduan berbagai hal. Intinya ketidakpuasan terhadap keadaan. Tidak puas pada situasi sosial-ekonomi, terbatasnya ruang artikulasi politik, dan hadirnya generasi baru santri.

Ada sejumlah saran agar ada kanalisasi. Pertama, GNPF untuk terus mengkonsolidasi simpul-simpul massa, tanpa harus menjadi ormas. Tetap fokus pada kekuatan jalinan ketokohan habib, kiai, ulama, dan ustad. Kedua, komunikasi dan salurkan aspirasi pada partai-partai santri. Ketiga, merumuskan agenda aksi yang lebih luas dalam isu-isu kebangsaan, termasuk memantapkan Indonesia sebagai negara Pancasila. Keempat, GNPF agar fokus sebagai gerakan moral dan spiritual dan tidak bercita-cita menjadi partai politik. Hal ini bisa belajar dari pendeta Hindu yang konsisten di belakang Baratiya. Kelima, komunikasi intensif dengan semua ormas Islam dan tokoh umat. Keenam, tetap membina massa inti yang disiplin, rapi, dan saleh. Ketujuh, tetap di jalan dakwah dan jalan damai, serta tak terjebak radikalisme

Pasti akan banyak godaan dan upaya pecah belah, bahkan provokasi dan stigmatisasi. Sudah saatnya bersikap lebih baik menjadi kepala kucing daripada menjadi ekor macan. Jika arus sejarah ini bisa dilakukan maka masa kemajuan dan kejayaan Indonesia akan berada di rel yang sejati.

Revolusi Putih 5

Saatnya Perubahan Sosial-Ekonomi ('Revolusi' Putih -- 5)
Oleh: Nasihin Masha.

Kolom Resonansi.
Republika Online | Friday, 16 December 2016 | 06:00 WIB

Beberapa hari setelah pencoblosan dan Jokowi dipastikan akan memenangkan Pilpres 2014, ada pertemuan kecil di Restoran Kunstkring, Menteng, Jakarta Pusat. Jokowi berdialog dengan sekitar sepuluh pemimpin redaksi.

Ia meminta masukan dan lebih banyak mendengar bahkan sesekali mencatat. Ada banyak hal yang saya sampaikan, namun yang paling subtansial adalah yang ini; "Indonesia akan maju jika marhaen dan santri bersatu. Mereka adalah yang paling menderita saat ini. Paling miskin dan paling terbelakang."

Jokowi harus menyatukan 'merah' dan 'putih'. Tampaknya usulan itu tak nyantol, 'putih' relatif ditinggalkan. Mari kita mulai dari awal ketika formasi sosial yang terwariskan hingga kini mulai dibentuk. Pemerintah kolonial Belanda memperlakukan penduduk secara diskriminatif.

Ini bisa dilihat pada undang-undang dasar pemerintah kolonial Belanda, yaitu Indische Staatsregeling (IS/Undang-undang Dasar Hindia). IS mulai berlaku pada 1926, sebagai penguatan aturan sebelumnya, Reglement Regering (Peraturan Pemerintah) yang lahir 1815.

Ada dua pasal penting dipahami untuk kepentingan tulisan ini, yaitu Pasal 131 dan Pasal 163. Pasal 131 mengatur hukum yang berlaku untuk tiap golongan penduduk, yaitu untuk perkara pidana, dagang, dan perdata, juga untuk hukum acara perdata dan hukum acara pidana.

Pasal 163 mengatur tentang pembagian golongan penduduk. Pertama, orang Eropa, termasuk Jepang. Kedua, golongan pribumi, termasuk orang asing yang meleburkan diri dalam golongan pribumi dan meninggalkan hukum asalnya.

Dalam hal ini termasuk orang Arab yang beragama Islam maupun wanita asing dan keturunan asing yang menikah dan lebur dengan pribumi. Ketiga, golongan Timur Asing.

UUD ini memperlakukan tiap-tiap golongan penduduk secara diskriminatif, terutama untuk pribumi yang masuk warga kelas tiga. Pada Ayat (3) dan Ayat (4) Pasal 163 memberikan kekecualian bagi pribumi dan Timur Asing yang beragama Kristen.

Mereka diberlakukan hukum yang sama dengan golongan Eropa. Akibat perbedaan perlakuan maka penduduk pribumi mengalami ketertinggalan. Ketika Politik Etis diberlakukan, salah satu pilarnya adalah diizinkannya pribumi bersekolah secara lebih leluasa.

Namun di sini ada batasan. Sekolah hanya untuk bangsawan dan pegawai pemerintah kolonial, rakyat tak bisa sekolah. Jenjang sekolah pun harus mengikuti hierarki dan kepangkatan orang tuanya. Makin tinggi pangkat orangtuanya, anaknya bisa sekolah lebih tinggi.

Karena itu, ketika Indonesia merdeka, hanya ada sekitar 60 orang pribumi yang bergelar sarjana. Secara sosiologis dan ideologis, kaum santri tentu sangat terbatas yang bisa sekolah. Kemerdekaan adalah berkah tersendiri. Semua bisa memiliki kesempatan bersekolah.

Hanya saja pemerintah belum bisa menyediakan sekolah di semua wilayah. Secara ekonomi dan budaya juga masih ada hambatan. Hampir semua orang benar-benar bisa sekolah baru terwujud di masa Orde Baru. Pemerintah menyediakan sekolah di hampir semua desa.

Pendidikan adalah kunci menuju kemajuan bangsa dan kualitas sumber daya manusia. Melalui pendidikan terbuka wawasan, pemahaman, penghayatan, kepercayaan diri, dan juga melejitkan keterampilan. Tentu saja ada kekecualian bagi sangat jarang orang yang bisa otodidak.

Setelah Politik Etis, walau jumlah yang terdidik sangat terbatas, generasi santri adalah pionir dalam memperjuangkan nasib dan masa depan bangsa melalui pergerakan kebangsaan.

Mereka mendirikan Sarekat Dagang Islam, Jong Islameten Bond, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Sarekat Islam, Majelis Islam 'Ala Indonesia, Perti, Al Washliyah, Nahdlatul Wathan, Persis, PUI, Al Irsyad, Mathlaul Anwar, Alkhairat, dan sebagainya.

Setelah merdeka ada dua partai Islam yang besar yaitu Masyumi dan NU. Namun di masa Demokrasi Terpimpin, Masyumi dibubarkan dan tidak boleh berdiri lagi di masa Orde Baru. Selain itu, di masa Orde Baru umat mengalami peminggiran.

Sehingga umat tak bisa banyak berbuat di lapangan politik, yang berimplikasi di bidang ekonomi. Satu-satunya yang bisa dilakukan hanyalah bersekolah. Buah inilah yang kemudian dipetik dengan lahirnya ICMI pada 1990.

Para pendiri ICMI benar-benar generasi santri yang dibesarkan oleh kemerdekaan. Mereka kelahiran 1940-an. Umumnya dosen, pegiat LSM, dan pegawai negeri. Jumlah mereka terbatas, sumber daya ekonominya hampir tidak ada, jaringan pun sangat terbatas.

Mereka baru memulai untuk menyusun. Satu-satunya kekuatan ICMI adalah proteksi dan dukungan dari Soeharto - yang di akhir kekuasaannya mulai mendekat ke Islam, yang ditentang para sekutu, bahkan anak-anaknya sendiri, dan pilar-pilar utama Orde Baru.

Walau demikian, dengan segala keterbatasannya ICMI bisa melahirkan banyak karya. Perjuangan ICMI adalah membangun sumber daya manusia dan penguatan kelembagaan ekonomi umat.

Seiring runtuhnya Soeharto dan jatuhnya BJ Habibie dari kursi kepresidenan, ICMI secara perlahan memudar. Partai-partai umat yang hadir di era reformasi seperti PKB, PAN, PKS, dan juga PPP (PPP lahir di masa Orba) belum mampu bersaing.

Mereka masih belajar, kalah terampil, minim dana, dan lemah jaringan. Mereka dilibas oleh partai-partai lain terutama dari rumpun Orde Baru seperti Golkar, Gerindra, Demokrat, bahkan Nasdem dan Hanura.

Berkat kepemimpinan Megawati yang anak Sukarno, PDIP tetap mampu mengkonsolidasi generasi PNI, menarik generasi PKI yang dihancurkan Orba, dan didukung oleh Kristen (Parkindo) dan Katolik (Partai Katolik) yang di masa Orba memang masuk ke PDI.

Pembunuhan Islam politik sejak Demokrasi Terpimpin tak mampu dibangkitkan ICMI. Perubahan psikografi penduduk Indonesia belum mampu dijawab oleh generasi politik santri di era reformasi ini.Namun sejarah terus bergerak.

Buah pendidikan yang massif oleh Orde Baru mendorong generasi santri mencari peran dan saluran artikulasi. Generasi yang lahir 1960-an dan bersekolah di masa Orba itu kini telah berusia 50-an tahun. Di usia ini mereka mulai menyelesaikan tugas-tugas domestik keluarga, hidup mulai mapan, dan memiliki wawasan serta jaringan yang baik.

Mereka menyaksikan ada sesuatu yang tak beres pada bangunan Indonesia. Kasus Ahok hanya menjadi pemantik lahirnya gerakan generasi baru ini. Kesadaran bersama ini akan terus terpelihara dan berkembang seiring waktu hingga sistem bisa mengadaptasi perubahan demografi dan psikografi sosial ini.

Sebetulnya, generasi 'merah' mengahadapi situasi sama. Yang membedakan, mereka tetap berada dalam kontinuitas dan tetap terkonsolidasi. Mulai dengan terpilihnya Megawati sebagai ketua umum PDI pada 1993, terjadi Peristiwa 27 Juli 1996, PDIP menang pemilu 1999, dan Megawati menjadi presiden pada 2001.

Setelah itu PDIP terus bertengger sebagai partai nomor dua dan pada pemilu 2014 kembali menjadi partai nomor satu dengan mendudukkan kadernya sebagai presiden. Saat ini mereka sedang berkuasa. Namun sebenarnya tak banyak perubahan pada nasib konstituennya.

Lebih luas lagi tak ada perubahan pada nasib bangsa dan negara ini. Masyarakat tetap miskin dan terbelakang, bangsa Indonesia tetap menjadi pedagang sumber daya alam yang tak banyak menyejahterakan rakyatnya.

Reformasi hanya mengubah aktor, tapi relatif tak mengubah konstelasi. Seperti halnya kemerdekaan, reformasi hanya revolusi di bidang politik tapi tak ada revolusi sosial-ekonomi, apalagi budaya.Megawati sebetulnya sudah gelisah.

Ia menangis saat wawancara di Mata Najwa tentang Indonesia Raya. Ia beberapa kali meminta kembali ke UUD 1945 yang asli sebagai solusinya. Kegelisahan yang sama kini dirasakan oleh lapis bawah terdidik masyarakat Indonesia, apalagi oleh generasi santri yang tak memiliki ruang artikulasi.

Hanya butuh perumusan bersama dan kepemimpinan bersama untuk melakukan perubahan mendasar bagi tercapainya masyarakat seperti yang dicita-citakan Pembukaan UUD 1945.

Revolusi Putih 4

Aksi 212 dan Reaktualisasi Nasionalisme ('Revolusi' Putih 4).
Oleh: Nasihin Masha

Kolom Resonansi.
Republika Online | Friday, 09 December 2016 | 06:00 WIB

Laju sejarah selalu tak bisa dibendung. Karena sejarah memiliki nyawa, memiliki daya hidup. Seperti arus laut yang mengikuti suhu air, seperti angin yang mengikuti kerapatan udara dan seperti air yang mengikuti kemiringan tanah. Aksi 212 tak tertahankan.

Upaya membendung dan membelokkan arus sejarah bukan tidak dilakukan, bahkan bertubi-tubi. Para pimpinan ormas dan pimpinan partai didatangi dan dipanggil. Fatwa bid'ah shalat di jalan dikeluarkan.

Degradasi narasi aksi 212 disebar lewat media konvensional maupun media sosial. Intimidasi dilakukan dengan diksi makar, dibayar, dan ditunggangi aktor politik. Perusahaan bus dilarang mengangkut rombongan yang hendak ke Jakarta.

Jalan-jalan dijaga banyak aparat. Kendaraan yang melaju dihentikan untuk didata. Jembatan tiba-tiba ditutup. Jalan tol tiba-tiba diaspal. Polisi akan membubarkan secara paksa jika tetap shalat di Jalan Thamrin dan Jalan Sudirman sehingga aksi 212 harus pindah ke Monas.

Aksi tandingan dilakukan berkali-kali. Konsolidasi ke alat-alat negara digeber. Secara atraktif polisi juga menyebar selebaran dari helikopter di langit Jakarta. Seolah akan ada perang. Namun, inilah puncak pembalikannya: santri Ciamis memilih berjalan kaki menuju Jakarta.

Suara dari Ciamis ini justru merupakan tindakan efektif yang menggetarkan dan menggentarkan. Mereka mengenakan caping merah-putih. Di ruas-ruas jalan yang dilalui, masyarakat menggelar makanan dan penyambutan luar biasa.

Pelajar berjajar di pinggir jalan mengenakan kacu merah-putih. Di panggung utama di Monas pun tergelar backdrop besar: Persatuan dan Doa untuk NKRI Tercinta. Pin merah-putih menghiasi kopiah panitia.

Dengan segala pembendungan itu, aksi 212 justru jauh lebih besar daripada aksi 411. Aksi 212 benar-benar superdamai. Aksi 212 lebih disiplin, lebih rapi, dan lebih berjiwa daripada aksi 411. Presiden Jokowi akhirnya ikut shalat Jumat di Monas.

Peserta aksi 212 jauh di atas perkiraan aparat keamanan yang menaksir cuma akan diikuti 200 ribu orang. Karena itu, Jl Thamrin tetap digunakan untuk area shalat Jumat. Peserta aksi juga memadati hingga ke Tugu Tani, kawasan Kwitang, kawasan Senen, maupun Lapangan Banteng.

Upaya pengerdilan tak berhenti. Narasi menuntut keadilan dituduh sebagai anti-Indonesia. Mereka menyerbu lewat media konvensional dan media sosial. Mereka juga membuat aksi-aksi tandingan. Ada Parade Bhinneka Tunggal Ika, ada Kita Indonesia.

Benar-benar dihadap-hadapkan. Bahkan yang terakhir lengkap dengan beredarnya surat-surat dari kementerian, sebagian partai pendukung, dan perusahaan-perusahaan konglomerat. Aksi tandingan ini benar-benar bukti ketidakmatangan bernegara.

Suka atau tidak suka, diakui atau tidak diakui, semua aksi tandingan itu butuh restu orang-orang berkuasa. Padahal tugas negara adalah menyerap aspirasi. Tugas negara adalah membuat kebijakan.

Tugas negara bukan menandingi aspirasi warganya yang menuntut keadilan-sahabat saya mempunyai istilah yang tepat untuk aksi tandingan ini: demo pelat merah. Tugas penguasa adalah mengekstrak detak rakyatnya, bukan membuat aksi pelat merah. Bukan membuat “kita” dan “kalian”.

Masuklah pada kedalaman yang bersemayam di hati rakyat. Apa yang terjadi saat ini bukan sekadar al-Maidah: 51. Namun, ada masalah sosial-ekonomi yang diam-diam menjadi jurang yang dalam dan menuju tanpa dasar.

Pilkada adalah pemantik. Namun, yang dilakukan penguasa adalah membangun dikotomi penguasa melawan rakyat, si miskin melawan si kaya, jelata melawan elite. Sikap defensif orang-orang berkuasa justru makin menyadarkan bahwa ini bukan soal Ahok semata.

Ada kekuatan yang sangat besar yang membuat mereka mati-matian membendung arus sejarah ini. Ada kesadaran bahwa kekuatan perubahan ini bisa mengubah tatanan yang sudah mulai lapuk ini.

Kaum oligarkis dan plutokratis melihat titik cahaya yang mengancam eksistensi mereka. Negeri ini tak kunjung maju karena hanya mengabdi kepentingan segelintir elite dan segelintir pengusaha. Jumlah mereka tak lebih dari 200 orang.

Sudah saatnya negeri ini mengabdi untuk seluruh anak bangsa, seperti digagas para pendiri negeri ini.

Sukarno adalah murid HOS Tjokroaminoto. Sebagaimana gurunya, Sukarno menerjemahkan dirinya sebagai kekuatan kelas menengah yang menyatukan dirinya dengan jiwa masyarakatnya. Hal ini berbeda dengan kebanyakan pemimpin kebangsaan saat itu yang elitis.

Dua Bapak Bangsa itu tampil dengan bahasa awam dan menyatu dengan denyut nadi rakyat. Mereka mengekstrak aspirasi yang bersemayam di dada rakyatnya. Sukarno memperbaiki kekuatan gurunya-dalam hal orasi maupun ideologi.

Dengan bersatunya pemimpin dengan rakyatnya maka gerakan kebangsaan memiliki nyawa raksasa yang meruntuhkan kolonialisme. Namun, kemerdekaan belum berhasil menjebol elitisme kekuasaan.

Kemerdekaan hanya berhasil melakukan revolusi politik tetapi gagal dalam revolusi sosial dan revolusi ekonomi. Hal ini berlanjut pada lanskap seusai gerakan 1966 maupun gerakan 1998. Kaum elite-oligarkis maupun plutokratis-selalu pandai memanipulasi narasi.

Contoh paling mudah bisa dilihat pada perang narasi saat ini. Mari kita lihat kontradiksinya. Mulut bicara NKRI harga mati tetapi duit disimpan di luar negeri.

Teriak lantang tentang Merah Putih tapi tak ikut tax amnesty-atau hanya sebagian harta saja yang diikutkan dalam tax amnesty. Bhinneka Tunggal Ika digelorakan tetapi sudah ngacir ke negeri tetangga ketika ada suara berbeda.

Pancasila didengungkan tetapi penyelundupan, transfer pricing, penyuapan, dan korupsi jalan terus. Semua berselimut dusta yang disangga harta dan kuasa.

Sedangkan, orang-orang yang dituduh anti-Indonesia itu justru di posisi sebaliknya: hidup dan matinya tidak akan ke mana-mana. NKRI benar-benar harus dijaga karena itu kekayaan satu-satunya.

NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, Merah Putih, Garuda, dan Pancasila bukan slogan kosong yang hanya indah di pidato dan spanduk. Semuanya harus nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Orang-orang yang ikut aksi 411 atau 212 itu nyaris semuanya jauh dari urusan tax amnesty atau menyimpan duit di luar negeri. Apalagi melakukan penyelundupan, transfer pricing, dan penyuapan.

Jadi, siapa sesungguhnya yang anti-Indonesia? Umat Islam tak henti dituduh anti-Indonesia. Karena cuma itu satu-satunya senjata. Trauma kolonialisme-santri adalah salah satu yang paling menderita sehingga tertinggal secara ekonomi dan pendidikan-bukanlah sesuatu yang mudah dihapuskan.

Kini, sudah saatnya bergerak dalam barisan yang rapi dan terkonsolidasi, dalam bahasa yang universal, dan membesarkan kuda sendiri. Aksi 212 telah memberi pesan kepada dunia bahwa Islam itu damai dan indah.

Namun, kedamaian dan keindahan itu menjadi bermakna manakala bisa membawa Indonesia maju dan sejahtera. Dan itu tidak bisa dilakukan dari pinggiran.

Revolusi Putih 3

Menaruh Sedotan di Gelas ('Revolusi' Putih -- 3)
oleh: Nasihin Masha

Republika Online | Friday, 02 December 2016 | 13:40 WIB

Di manakah letak pusat-pusat kemiskinan di masa kolonial? Kita bisa menjawab dengan cepat: di sekitar perkebunan-perkebunan Belanda. Penjajahan Belanda terus merangsek. Mulai dengan berdagang di pesisir, membuat benteng, bertransaksi melalui penguasa lokal, hingga akhirnya masuk ke desa-desa secara langsung.

Persekutuan dagang Hindia Timur (VOC) bubar pada 1798 akibat korupsi dan perang dengan Sultan Hasanudin, Sulawesi. Penjajahan diambil alih dari organisasi persekutuan dagang ke Pemerintah Belanda. Perang Diponegoro (Perang Jawa) pada 1825-1830 membuat pemerintah kolonial hampir bangkrut.

Untuk menebusnya, Belanda memberlakukan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) sejak 1830. Masyarakat wajib menyerahkan 20 persen tanahnya, yang tidak punya tanah wajib ikut kerja paksa 66 hari dalam satu tahun.

Komoditas tanamnya adalah kopi, tebu, dan nila, kemudian berkembang ke tembakau, teh, dan sebagainya. Maka hadirlah perkebunan-perkebunan. Pemerintah Belanda untung besar. Namun, warga sekitar perkebunan menjadi warga paling miskin, bahkan jejaknya masih terlihat hingga kini-terutama di Jawa.

Sukses itu menuntut jaringan infrastruktur yang lebih baik. Jalan raya, termasuk jalan Daendels yang dibangun 1808 dari Anyer (Banten) ke Panarukan (Situbondo) sepanjang sekitar 1.000 km, tak lagi memadai. Pada 1840 muncul proposal pembangunan jaringan kereta api.

Namun, pembangunan baru bisa dilakukan pada 1864 dan selesai 1867. Ruas Semarang-Tanggung sepanjang 26 km adalah jaringan kereta api pertama. Pada 1900 sudah terbangun rel kereta api sepanjang 3.338 km.

Ujungnya adalah pelabuhan, yaitu Tanjung Priok (Jakarta) dan Tanjung Perak (Surabaya). Jika jalan Daendels untuk basis pertahanan pantura Jawa maka jaringan kereta adalah untuk transportasi komoditas perkebunan.

Rel kereta api yang dibangun Belanda itu tak semua masih difungsikan, termasuk jalur Cirebon-Bandung, Lebak-Labuan, dan sebagainya. Sistem tanam paksa yang eksploitatif ini menimbulkan penderitaan yang hebat pada masyarakat.

Pada 1860 terbit novel Max Havelaar. Novel ini ditulis Eduard Douwes Dekker dengan nama samaran Multatuli. Ia menggambarkan kejamnya sistem tanam paksa. Kritik-kritik serupa juga muncul dari wartawan dan politisi. Sepuluh tahun kemudian, 1870, sistem tanam paksa dihentikan.

Namun, perkebunan tetap berjalan dan proses itu diambil alih oleh swasta. Walau terjadi liberalisasi, penderitaan rakyat yang kehilangan tanah dan dampak 40 tahun tanam paksa tetap lestari. Namun, kita tak pernah belajar dari sejarah. Kini kita sedang mengulanginya lagi.

Jika pada masa SBY kita mengeksploitasi sumber daya alam besar-besaran-perizinan pertambangan mineral dan pembukaan lahan perkebunan sawit-kini kita sedang besar-besaran membangun jaringan infrastruktur jalan, kereta, laut, dan udara.

Lini masanya sama: mulai dengan membuka lahan lalu diikuti pembangunan infrastruktur. Suatu kali Sukarno menyatakan, lebih baik kekayaan alam Indonesia tetap terpendam di dalam tanah hingga anak-anak Indonesia sanggup mengelolanya sendiri.

Kisah sukses bangsa-bangsa lain selalu menyebutkan, jalan kemajuan itu diraih melalui pengembangan sumber daya manusia (pendidikan) dan penguatan kelembagaan. Hal itu bisa dibaca pada buku Acemoglu dan Robinson, juga buku Fukuyama.

Tulisan ekonom M Chatib Basri di sebuah media juga menekankan hal itu. Bahkan, ia menyebutkan, hanya Australia dan Cile yang sukses beranjak menjadi negara maju melalui sumber daya alam. Sedangkan, negara-negara Asia beranjak maju melalui jalan industrialisasi.

Program pembangunan technopark di semua kota yang dijanjikan di masa kampanye tak pernah terdengar lagi. Model technopark ini sukses di Taiwan yang kemudian ditiru Cina.

Investasi pendidikan yang dilakukan Indonesia tak segencar seperti yang dilakukan Cina atau Malaysia di masa Mahathir Mohamad. Mengapa kita tak melakukan seperti yang dilakukan Cina, Malaysia, Taiwan, dan Korea Selatan?

Tentu akan banyak jawaban. Yang pasti, anggaran dan legislasi diperebutkan oleh banyak kepentingan-seperti kata Acemoglu dan Robinson, pertarungannya memang di undang-undang. Khusus di era reformasi ini, penguasanya cuma dua: partai dan pengusaha.

Partai hanya dikuasai segelintir orang. Partai besar cuma empat: PDIP, Golkar, Demokrat, dan Gerindra. Mereka sangat pragmatis, tak ada yang ideologis. Kendati PDIP merupakan partai ideologis, dalam hal ekonomi juga sama saja.

Sedangkan, kaum pengusahanya umumnya adalah pedagang. Pedagang komoditas ataupun importir barang industri dan komoditas pangan. Impornya pun banyak yang selundupan, bahkan untuk barang elektronika bisa lebih dari 80 persen selundupan.

Walau kita eksportir komoditas, bursa komoditas justru ada di Singapura. Jangan dikira kita berdaulat dalam perdagangan kakao, kopi, teh, nikel, batu bara, bahkan hingga gambir yang cuma ada di Sumatra Barat itu.

Karena itu, pembangunan infrastruktur tanpa penguatan sumber daya manusia dan kelembagaan ibarat kita menyediakan sedotan di gelas kita. Jika pada masa Orde Baru sedotan itu hanya sampai sepertiga gelas, maka setelah pembangunan infrastruktur besar-besaran selesai sedotan itu sudah menyentuh ke dasar gelas.

Jadi, Indonesia akan disedot hingga tandas. Pada masa kolonial kita sudah diperlihatkan eksploitasi sumber daya alam menghasilkan kemiskinan bergenerasi di sekitarnya. Sawahlunto di Sumatra Barat adalah contohnya.

Setelah batu bara habis, maka daerah itu kembali sepi dan miskin. Beruntung, pada era reformasi wilayah itu memiliki kepala daerah yang membangun sumber daya manusia sehingga bisa bangkit dan ramai kembali.

Fukuyama mengingatkan, "Setiap umat manusia berusaha untuk memiliki pengakuan atas martabatnya [...]. Di masa modern, perjuangan untuk memperoleh pengakuan ini telah beringsut dari wilayah militer ke wilayah ekonomi."

Seolah bersahutan, Acemoglu dan Robinson mengatakan, "Konflik perebutan sumber daya, pendapatan, dan kekuasaan yang langka akan menjelma menjadi konflik dalam penetapan undang-undang serta pembentukan institusi ekonomi yang sangat menentukan aktivitas perekonomian, berikut pihak mana saja yang akan diuntungkan."

Pembangunan infrastruktur dan pembukaan lahan tak menjamin tercapainya kesejahteraan bersama dan keadilan untuk semua jika tak menyiapkan kualitas manusia dan kelembagaan yang inklusif, terutama di sektor ekonomi.

Kita nanti akan menjadi kuli, gelandangan, dan konsumen di negerinya sendiri. Kenyataan ini bukan hanya nyata, tetapi mulai gigantik.

Revolusi Putih 2


Telah Lahir Generasi Baru ('Revolusi' Putih- 2)
Oleh: Nasihin Masha

Kolom Resonansi.
Republika Online | Jumat, 25 November 2016 | 06:00 WIB

GNPF sudah mengumumkan, mereka akan tetap melakukan aksi lanjutan. Status tersangka yang sudah diterakan ke Ahok tak membuat mereka berhenti. Ada nada ketidakpercayaan pada kesungguhan aparat dalam menegakkan keadilan.

Pada sisi lain, Ahok tak berhenti menghamburkan pernyataannya yang agresif. Kali ini ia menuduh peserta aksi 411 dibayar Rp 500 ribu per orang. Ia juga mengecilkan aksi kemarin hanya diikuti 100 ribu orang saja.

Mereka sudah mencanangkan bahwa aksi berikutnya akan dilakukan pada 2 Desember alias 212. Apakah aksi nanti akan sebesar atau lebih besar daripada aksi 411? Atau aksi nanti justru lebih kecil daripada aksi sebelumnya? Atau bahkan aksi nanti tak terjadi sama sekali?

Pertanyaan-pertanyaan itu tak penting benar. Yang lebih penting memaknai aksi-aksi tersebut agar kita sebagai bangsa tak terantuk karena salah diagnosa.

Hadirnya aksi-aksi lain dengan propaganda aksi 411 sebagai anti- Pancasila, anti-Bhinneka Tunggal Ika, dan anti -NKRI menunjukkan miskinnya penghayatan politik kenegaraan dan kenegarawanan.

Pada 1 Juni 1945, Sukarno menyampaikan Pancasila sebagai philosofische grondslag, dasar falsafah negara. Salah satu silanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. "Dan hendaknya negara Indonesia satu negara yang ber-Tuhan!" katanya.

"Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat menghormati satu sama lain."

Saat memberikan kursus tentang Pancasila, 16 Juni 1958, Sukarno bertanya mengapa jumlahnya lima dan bukan dasasila, bukan catursila, bukan trisila, atau bukan saptasila.

Sukarno menjawab, untuk mencari dasar statis (dasar pijakan) dan leitstar dinamis (petunjuk arah) maka harus menggali sedalam-dalamnya dari jiwa masyarakat Indonesia itu sendiri, bukan yang tak ada dalam jiwa masyarakat Indonesia.

Dengan demikian dasar-dasar itu bisa menimbulkan panggilan (appeal) kepada jiwa bangsa Indonesia, yang bisa menggerakkan, yang memompakan kemauan berkorban, yang menggelembungkan tekad, dan yang mendorong kemauan untuk berjuang.

Berdasarkan penggaliannya itu ia menemukan lima sila, salah satunya sila Ketuhanan. Sehingga wajar saja jika kini ada sentilan terhadap aspek Ketuhanan menimbulkan reaksi yang hebat.Harus diakui orde reformasi adalah orde tanpa gagasan yang solid.

Setiap orang bergerak menurut pikirannya sendiri. Dimulai dengan mendekonstruksi UUD 1945. Setelah itu Pancasila dikembalikan di rak. Mirip ketika setelah proklamasi orang tak pernah membicarakan lagi tentang Pancasila.

Harus diakui Pancasila baru sebatas doktrin dan gagasan sehingga belum menjadi ajaran praksis. Karena itu kemudian Sukarno mengadakan kursus Pancasila dan kemudian mewujudkannya dalam Demokrasi Terpimpin, struktur lembaga negara yang baru, tujuh bahan pokok indoktrinasi, dan konsep Pembangunan Semesta Berencana.

Sukarno sedang menerjemahkan Pancasila sebagai ideologi praksis. Menurut Sukarno ideologi itu harus memiliki tiga unsur: gambaran cita-cita ke depan, kemauan untuk mencapainya, dan kemampuan untuk melaksanakannya.Namun negara Nasakom itu runtuh.

Soeharto kemudian membuat rumusan baru tentang praksis Pancasila. Ia melahirkan Eka Prasetya Panca Karsa atau P4, GBHN, dan kelembagaan negara yang merupakan pembaruan dari masa Sukarno.

Kini, di era reformasi, Pancasila hanya menjadi jargon dan ideologi pemersatu, bahkan diselewengkan sebagai alat pemukul lawan. Tak ada upaya menjadikan Pancasila sebagai ajaran praksis.

Karena itu arah pembangunan dilakukan sesuai selera penguasa, dan dalam praktiknya dikendalikan segelintir atau puluhan saja pemilik uang. Kita telah melalui fase oligarkis selama 10 tahun dan kini masuk fase plutokratis, keduanya jelas tak sesuai ajaran Pancasila.

Kini reformasi telah berjalan 18 tahun. Indonesia belum beranjak ke mana-mana. Kita masih tetap sebagai negara penjual sumber daya alam, menjadi negara pedagang. Kita hanya dininabobokan besaran GDP, nilai APBN, dan angka-angka pertumbuhan ekonomi.

Semua itu semu. Kelembagaan kita lemah, industri kita tidak ada, kualitas sumber daya manusia belum kompetitif. Jika rezim sebelumnya sibuk dagang tambang mineral, maka rezim saat ini sibuk membangun infrastruktur.

Dan sekarang politik menjadi panas hanya karena megaproyek reklamasi, yang sama sekali tak terkait dengan aspek penguatan kelembagaan, industri, sumber daya manusia, apalagi pemerataan ekonomi.

Selebihnya kita tetap menjadi pasar, buruh murah, dan eksploitasi sumberdaya alam.Sistem reformasi sedang menuju ke titik gagal. Generasi baru yang datang menyembul mulai gelisah tentang ruang partisipasi di segala hal dan jurang kaya-miskin yang makin lebar.

Generasi datang dan pergi adalah siklus normal. Sistem yang baik akan mampu mengikuti ritme itu. Yang menjadi masalah adalah manakala perubahan demografi tidak bisa diserap oleh sistem. Pada titik inilah kita harus memaknai aksi 411.

Mari kita lihat pembabakan sejarah kita. Belanda memulai politik etis pada 1901, pribumi mulai lebih leluasa sekolah walau hanya untuk anak bangsawan dan pegawai pemerintah kolonial serta untuk orang Timur Asing dan yang beragama Kristen.

Itupun langsung menghasilkan lahirnya organisasi-organisasi kebangsaan. Pada 1920-an pergerakan kebangsaan memasuki musim semi dengan puncaknya adalah Sumpah Pemuda. M Yamin dan Soegondo yang menjadi tokoh sentral adalah kelahiran 1902 dan 1905.

Mereka benar-benar buah Politik Etis. Generasi inilah yang menjadi pemetik buah kemerdekaan. Sukarno lahir 1901 dan M Hatta lahir 1902. Pada 1966 lahir Orde Baru. Tokoh utamanya adalah Soeharto, kelahiran 1921.

Ada dua tokoh lain yang menjadi mitra triumvirate-nya dan satu pemimpin teknokrat, yaitu Adam Malik (1917) dan Widjojo Nitisastro (1927). Mereka adalah generasi yang lahir di musim semi pergerakan nasional. Hanya Sultan HB IX yang paling tua, lahir tahun 1912.

Di masa akhir Orba ada tiga peristiwa penting, yaitu pada 1990 lahir ICMI dan Fordem serta pada 1993 Megawati menjadi ketua umum PDI. Tokoh-tokoh ICMI adalah Amien Rais (lahir 1947), Dawam Raharjo (1942), Nurcholish Madjid (1939), Adi Sasono (1949), BJ Habibie (1936).

Sedangkan tokoh Fordem adalah Abdurrahman Wahid (1940), Marsillam Simanjuntak (1943), Bondan Gunawan (1948). Megawati sendiri kelahiran 1947. Mereka adalah generasi yang dibesarkan setelah kemerdekaan.

Tiga peristiwa itu merupakan musim semi bagi berbuahnya reformasi. Mereka inilah yang berada di puncak era reformasi.Kini, tokoh-tokoh GNPF kelahiran tahun 1960-an. Bachtiar Nasir kelahiran 1967, M Zaitun Rasmin (1966), Habib Rizieq Syihab (1965), Munarman (1968).

Penyebutan empat orang ini bukan hendak mengagulkan mereka atau berlebihan menilai GNPF, tapi sedang memperlihatkan munculnya generasi 1960-an yang bersekolah di masa Orde Baru. Jika sistem yang ada saat ini tak mampu menampung perubahan demografi maka generasi 1960-an ini akan datang mendesak.

Generasi Sukarno kelahiran 1900-an, generasi Soeharto kelahiran 1920-an, generasi Amien Rais kelahiran 1940-an, dan kini generasi 1960-an. Ada rentang 20-an tahun. Generasi 1960an kemudian menjadi aktivis mahasiswa 1980-an, yang kini limbung tergulung aktivis 1990-an.

Apakah aktivis 1980-an ini akan bangkit atau justru tenggelam bersama sejarah. Orang-orang yang gelisah dengan kesenjangan, kedaulatan, ketahanan nasional, pemerataan ekonomi, dan keadilan hanya masalah waktu saja untuk semburat.

Mereka akan menafsir kembali Pancasila dan UUD 1945 agar relevan dengan tuntutan kebangsan terkini. Jika GNPF datang dengan corak agama sebagaimana ICMI, maka berikutnya bisa muncul gerakan dengan corak seperti Fordem terutama dari sayap progresif.

Atau justru generasi santri akan mampu mentransformasikan diri dalam merumuskan gagasan dengan tema yang melampaui ide-ide tradisionalnya walau tak meninggalkan basis sosial dan kulturalnya. Tanda-tanda ke arah itu sudah mulai tampak.

Arus sejarah ini tak bisa ditakut-takuti oleh 'tim hore' atau alat-alat negara. Pimpinan TNI terlihat memahami situasi ini, sedangkan Polri tampak bingung.

Revolusi Putih

'Revolusi' Putih
Oleh: Nasihin Masha.

Kolom Resonansi.
Republika Online | Jumat, 11 November 2016 | 06:00 WIB

Ini adalah aksi unjuk rasa terbesar dalam sejarah Republik Indonesia. Ada yang mengklaim aksi ini diikuti lebih dari satu juta orang, ada yang menyebutkan sekitar 700 ribu orang. Namun sejumlah media ada yang menyebutkan cuma puluhan ribu atau ribuan orang saja.

Ada pula yang menyebutkan sekitar 150 ribu orang. Kepala Polri sendiri awalnya memprediksi akan diikuti lebih dari 50 ribu orang. Namun ternyata peserta unjuk rasa membeludak. Angka yang moderat adalah sekitar 500 ribu orang.

Tapi ini tetap yang terbesar dalam sejarah, jauh melampaui aksi 1998 yang menurunkan Soeharto. Angka itu makin besar lagi jika ditambah unjuk rasa yang terjadi di berbagai daerah pada hari yang sama.

Warna putih menjadi lanskap aksi yang mereka sebut sebagai Aksi Damai 4 November.

Warna putih mengular dari depan Istana hingga ke Bundaran HI. Warna putih juga mengitari sekeliling Istana, di Jl Veteran, kawasan Monas, Lapangan Banteng bahkan hingga ke Patung Tani. Aksi ini berlangsung tertib. Mereka saling mengingatkan untuk tak menginjak taman.

Ada yang khusus bertugas memunguti sampah, ada yang membagikan makanan dan minuman, relawan kesehatan, dan seterusnya. Saking damainya, para pedagang kaki lima bisa tenang berjualan. Spontanitas warga juga tampak dari dukungan pegawai-pegawai kantor di sekitar kawasan itu yang ikut menyuplai minuman dan makanan.

Peserta aksi demikian plural. Ada yang berasal dari kelompok-kelompok yang disebut garis keras, ada yang dari pengikut ormas-ormas mainstream, dan lebih banyak lagi massa awam. Hal itu terlihat ketika sore menjelang.

Begitu waktu Ashar tiba, massa awam ini pulang. Jumlahnya mungkin bisa 80 hingga 90 persen. Inilah yang oleh Aa Gym sebagai fenomena orang-orang yang tergerak hatinya.

Mereka bak keluar dari lubang-lubang semut, terus menyembul sejak pagi hingga usai bubaran Jumatan. Mereka berasal dari mushala-mushala kecil di Jabodetabek, mereka berasal dari majelis-majelis taklim di perumahan-perumahan dan perkampungan-perkampungan, mereka adalah kaum profesional dan eksekutif muda, mereka bahkan orang-orang tua yang lugu yang jika bertemu orang berpakaian rapi akan membungkukkan badan.

Mereka juga anak-anak muda dari perkampungan-perkampungan, mereka juga ibu-ibu muda sosialita di lingkungannya masing-masing. Mereka datang naik KRL, bus kota, angkot, Transjakarta, ojek, sepeda motor.

Jika kita mengikuti status-status media sosial, kita juga akan menyaksikan, peserta aksi itu juga datang dari luar kota. Ada yang datang naik bus carteran, ada yang datang naik bus umum, naik kereta, bahkan kapal laut, dan pesawat terbang.

Para anak muda dilepas dengan penuh haru oleh orang tuanya, ada guru-guru yang dilepas murid dan orang tua muridnya dengan doa bersama. Ada yang dilepas jamaah dan tetangganya. Inilah yang disebut gerakan sosial. Ya, ini gerakan sosial.

Ini adalah gerakan sosial pertama dalam sejarah Republik yang bersifat massif dan berskala nasional. Kita tentu ingat gerakan massa 1966, 1974, 1977/1978, dan terakhir 1998. Semua berintikan massa mahasiswa, karena itu disebut sebagai gerakan mahasiswa.

Namun kali ini berisi beragam elemen masyarakat: mahasiswa, profesional dan eksekutif muda, orang-orang tua, remaja, ibu-ibu.

Aksi ini memiliki banyak dimensi dan bisa dianalisis dari berbagai macam segi.

Memang pemantiknya adalah masalah agama. Namun sangat naif jika kita hanya melihatnya dari sisi agama semata. Para cendekiawan kita yang hanya rajin baca buku dan blusukan di media massa, maka mereka tak bisa memotret realitas dengan benar.

Politisi dan aparat kita yang hanya suka menyapa elite-elite belaka dan tak suka menyelam ke akar rumput akan terkaget-kaget. Para pemimpin yang sudah merasa berkuasa dengan mengendalikan alat-alat kekuasaan dan sumber-sumber uang akan rabun terhadap denyut hati dan pergerakan sosial.

Para orang bijak yang lebih suka bermain dengan kata-kata di puncak-puncak gelombang akan kehilangan pijakan dan mudah oleng serta melapuk sebagai demagog.

Para aktivis yang terbiasa berkegiatan dan bergerak dengan membuat proposal tak mampu menghitung energi potensial air di danau dan di gemericik mata air.

Padahal World Economic Forum sudah menyimpulkan, masyarakat Indonesia termasuk orang-orang paling dermawan di dunia. Bagi pegiat filantropi tahu benar tentang ini. Namun aksi 411 membalikkan semua itu.

Orang-orang yang salah baca itu memprediksi aksi itu hanya akan diikuti oleh puluhan ribu, aksi ini distigma sebagai gerakan garis keras, aksi ini punya tujuan politik, aksi ini dibiayai politisi, dan beragam tuduhan lain seperti antipluralisme, merusak kebinekaan, merongrong NKRI, dan anti-Pancasila.

Mereka tak bisa menangkap substansi, tak bisa menjangkau akar. Mereka bahkan menjadi imperialis layaknya kolonialis memperlakukan pejuang kemerdekaan. Mereka layaknya penguasa despot dan otoriter dalam melihat aspirasi rakyat.

Dicarilah kambing hitam, dibuat politik belah bambu, dan ujungnya politik pecah belah. Mesin-mesin kekuasaan dan alat-alat propaganda itu pun bekerja untuk memaksakan kehendaknya.

HMI adalah titik terempuk untuk menjadi target propaganda kacangan ini dan menjadi kapsul pelega palsu yang enak ''dikunyah'' aparat. Orang-orang didekati, dan yang bergerak justru diabaikan. Tak ada kenegarawanan, yang ada adalah ego dan kekerdilan jiwa. Kamu dan kami, kau dan aku. Tak ada lagi kita.

Ini adalah Revolusi Putih yang menuntut keadilan. Keadilan dalam banyak hal, yang mungkin tak disadari dan di luar dugaan oleh penggeraknya itu sendiri. Ini adalah energi yang mestinya menjadi aset. Ini adalah kekuatan bangsa yang selama ini terus berada di pinggiran.

Demografi sosial kita sudah berubah: pendidikan, literasi, kesehatan, pendapatan. Namun disparitas kita terus meningkat, pemerataan mengalami kemunduran. Energi sentrifugal yang kian besar dalam penguasaan aset ekonomi membuat sejumlah pihak mabuk dan terbungkuk-bungkuk. Padahal di sisi lain, sedang ada arus balik.

Ada rasa keterancaman identitas lokal serta tekanan terhadap ketahanan nasional dan ekonomi nasional oleh arus globalisasi yang kini mulai menggejala. Muncul pemimpin-pemimpin nasionalistik dan konservatisme.

Ada Narendra Modi di India dan Duterte di Filipina. Yang fenomenal adalah keluarnya Inggris dari Uni Eropa dan disusul oleh kemenangan Donald Trump. Peringatan dari Panglima TNI Gatot Nurmantyo tentang Proxy War merupakan fakta kuat dari gejala ini.

Ini adalah kode bagi bangsa ini untuk kembali ke semangat proklamasi. Revolusi bangsa ini selalu dibajak elite. Pancasila baru berhasil menjadi pemersatu namun belum teruji sebagai nilai-nilai praksis, bahkan kemudian dibajak untuk menjadi alat yang mendiskreditkan kritisisme dan tuntutan keadilan.

Alam sudah memberi tanda. Generasi 1945 adalah generasi paling responsif dalam melihat lingkungan global sehingga Indonesia menjadi pelopor kemerdekaan bangsa-bangsa terjajah. Tapi sesudahnya kita selalu tertinggal dalam merespons situasi. Karena itu Indonesia selalu menjadi ajang eksploitasi bagi bangsa-bangsa lain. Kini, alam sudah mengirim kode.

Berkahe Mayoritas

Saya hanya ingin mengatakan bahwa, Salah satu berkahnya Islam menjadi Mayoritas di Indonesia adalah: separah apa pun pemerintahnya, tidak ak...